JAKARTA, KOMPAS.TV - Sejumlah pihak mendorong aparat kepolisian yang mengupas tuntas penyidikan kasus kekerasan seksual untuk berpihak kepada korban atau melakukan penyidikan menggunakan perspektif korban.
Hal tersebut sebagaimana pernah dikemukakan oleh Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama 16 kantor LBH APIK yang mencatat minimnya perspektif keberpihakan pada korban dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.
Salah satunya yang menyoroti kasus dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang sempat ditutup penyidikannya karena dari hasil visum menyatakan korban dinilai tidak memiliki trauma dan luka pada alat vital.
Apa itu perspektif korban?
Pakar hukum Bivitri Susanti mengartikan perspektif korban adalah soal bagaimana seseorang harus berpikir seakan-akan menjadi korban yang menderita, sakit, dan mungkin tidak paham akan sebuah pertanyaan karena masih anak-anak.
Berikut sejumlah fakta terkait pentingnya perspektif korban digunakan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual pada anak.
1. Memicu terjadinya ketidakadilan
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menyatakan pentingnya perspektif korban untuk digunakan otoritas kepolisian dalam melakukan penyidikan kasus kekerasan seksual. Terutama dalam hal ini, kekerasan seksual pada anak.
Bivitri menilai apabila kemudian perspektif korban tidak dilakukan, maka yang terjadi nantinya justru ketidakadilan.
"Kalau ditutup dari awal dan kemudian prosedur mencapai kebenaran itu juga tidak dilakukan dengan perspektif korban, maka tadi yang terjadi adalah ketidakadilan," kata Bivitri Susanti kepada Kompas TV dalam program "Dialog Sapa Indonesia Pagi", Jumat (15/10/2021).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.