JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan, produk kerja Komnas HAM bukanlah produk hukum yang pro justisia dan tidak harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Hal tersebut Merujuk pada dasar kewenangan yang dimiliki Komnas HAM, Pasal 79 dan Pasal 89 UU 39/1999 tentang HAM.
“Sebagai sebuah rekomendasi, Komnas HAM dipersilahkan untuk membawa produk kerjanya kepada pemerintah dan juga DPR,” kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/8/2021).
Hendardi menuturkan, siapa pun boleh mengkaji dan memantau kinerja institusi negara. Tetapi jika pemantauan dan pengkajian itu dilakukan oleh lembaga negara, maka harus dilihat apakah itu domain kewenangannya atau sebatas partisipasi merespons aduan warga negara.
“Tindakan institusi negara itu yang pertama harus dilihat adalah dasar kewenangannya,” ujarnya.
Baca Juga: Ada Pelanggaran HAM, Yudi Purnomo: TWK KPK Tak Punya Legitimasi, Baik dari Sisi Hukum Maupun Norma
“Jika tidak ada kewenangan, maka produk tersebut bisa dianggap tidak berdasar (baseless), membuang-buang waktu dan terjebak pada kasus-kasus yang mungkin popular tapi bukan merupakan bagian mandat Komnas HAM.”
Hendardi lebih lanjut justru menyoroti di tengah keterbatasan prestasi Komnas HAM periode 2017-2022, Komnas HAM rajin mengambil peran sebagai ‘hero’ dalam kasus-kasus populer.
“Fakta pelanggaran HAM yang nyata dan bisa disidik dengan menggunakan UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, justru tidak dikerjakan Komnas HAM. Tak heran banyak pihak mempersoalkan kinerja Komnas HAM periode ini,” jelasnya.
Tak hanya itu, Hendardi juga menilai Komnas HAM gigih menyusun tumpukan kertas sebagai hasil kerja lembaga negara ini, tetapi miskin terobosan. Sementara, produksi standar norma terkait banyak hal yang dibuat Komnas HAM tidak memberikan efek perubahan pengarusutamaan HAM dalam tata kelola pemerintahan.
Baca Juga: Tim 75 Pegawai KPK Desak Rekomendasi Komnas HAM soal TWK Ditindaklanjuti
“Demikian juga produksi rekomendasi yang nyaris tidak memberikan dampak apa-apa pada upaya perlindungan hak asasi manusia bagi kelompok rentan, terdiskriminasi, masyarakat adat, kelompok kepercayaan dan lain sebagainya,” tutur Hendardi.
“Kita perlu mendukung Komnas HAM merancang visi baru, strategi baru, termasuk kewenangan baru sehingga kehadiran lembaga ini bisa lebih berdampak bagi pemajuan dan perlindungan HAM.”
Lebih lanjut, Hendardi menilai dalam kasus pengaduan alih status ASN, produk kerja KPK yang berupa keputusan Tata Usaha Negara dan administrasi negara bisa saja dipersoalkan. Misalnya melalui PTUN untuk keputusan Tata Usaha Negara maupun judicial review ke Mahkamah Agung atas Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021.
“Jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dua isu ini jelas bukan domain kewenangan Komnas HAM,” tutup Hendardi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.