JAKARTA, KOMPAS.TV, - Belum lama ini Helmi kehilangan ayahnya akibat hoaks soal Covid-19 dan vaksin. Hal ini membuat Helmi sadar betapa berbahayanya informasi menyesatkan.
Helmi menceritakan, ayahnya mulai merasakan gejala awal terjangkit Covid-19 pada Selasa (6/7/2021).
Saat itu, ayah Helmi yang tinggal di Tegal, Jawa Tengah, merasakan sakit kepala. Namun, mereka mengira sakit kepala itu hal biasa.
"Kan Papa ada diabetes, jadi kami mengiranya efek dari gulanya lagi tinggi," kata Helmi, Senin (19/7/2021), dikutip dari Kompas.com.
Baca Juga: Termakan Hoaks Ambulans Kosong, Warga Rusak Ambulans SAR DIY di Bantul
Namun, ayahnya masih merasakan sakit kepala keesokan harinya. Malah, sakit kepala itu terasa makin parah.
Helmi dan kakaknya mulai curiga. Mereka pun menyarankan sang ayah yang berusia 60 tahun untuk menjalani tes swab PCR Covid-19.
Akan tetapi, ayah Helmi menolak dengan alasan sudah menjalani tes antigen dua hari silam. Hasil tes itu disebutnya non-reaktif.
Untuk menyiasati hal itu, kakak Helmi menghubungi dokter kenalannya untuk meminta rekomendasi obat bagi ayahnya.
Kemudian, kondisi ayah Helmi memburuk sejak Sabtu (10/7/2021). Meski begitu, ayahnya masih menolak ke rumah sakit karena terpengaruh hoaks.
"Kakak sudah bolak-balik ngajak ke rumah sakit, tapi (Papa) takut. Takut 'di-covid-kan', takut 'nanti malah tambah kenapa-kenapa'," tutur Helmi menirukan ucapan ayahnya.
Kakak Helmi pun berinisiatif memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kesehatan ayah mereka.
"Sekalian biar bisa dikasih penjelasan sama dikasih vitamin booster sama diinfus dulu. Karena Papa kan makannya juga tambah susah. Minum obat juga cuma pereda nyerinya aja," ujar Helmi.
Saat menjalani perawatan di rumah, saturasi oksigen atau jumlah oksigen dalam darah ayah Helmi terus menurun sejak Senin (12/7/2021).
Sementara, Helmi dan saudara-saudaranya kesulitan mencari tabung oksigen karena langka. Mereka baru mendapat tabung oksigen 8 liter pada Selasa (13/7/2021) sekitar pukul 20.30 WIB.
Ternyata, oksigen dalam tabung itu sudah habis terpakai sekitar pukul 23.30 WIB atau 3 jam setelahnya.
Baca Juga: Jika Kasus Covid Terus Turun, 26 Juli PPKM Darurat Dilonggarkan, Ini Aturan Barunya!
“Papa bilang, 'Kok susah napas lagi ya'. Terus cek saturasi ternyata sudah di 40,” kata Helmi.
Karena sulit mengisi tabung oksigen saat tengah malam, kakak Helmi membawa ayah mereka ke sebuah rumah sakit di Tegal.
Ayah Helmi baru mendapat tempat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada Rabu (14/7/2021) sekitar pukul 03.00 WIB.
"Dikasih oksigen, mulai membaik saturasinya. Mulai naik, walaupun belum kembali ke normal, paling enggak sudah lebih enak lah. Sudah bisa bernapas," beber Helmi.
Karena kondisinya membaik, nakes rumah sakit itu memindahkan ayah Helmi ke ruang isolasi untuk pasien Covid-19 pada pukul 11.00 hari itu.
Sekitar pukul 12.30, sang ayah masih sempat berhubungan dengan kakak Helmi lewat telepon. Sang kakak memberi semangat makan dan minum obat pada ayah mereka.
Tak lama, pihak rumah sakit memberi kabar buruk. Kondisi ayah Helmi memburuk pada pukul 13.15 WIB.
"Kakak langsung nyamperin ke rumah sakit. Nah ketika telepon (dari rumah sakit) itu maksudnya adalah kondisi sudah dicoba bantu, ditekan dadanya, pertolongan pertama, karena waktu itu napas sudah enggak ada," ujar Helmi.
Kemudian Helmi yang tinggal di Depok, Jawa Barat mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal pada Rabu pukul 14.00 WIB.
Pengalaman itu membuat Helmi menyesal karena dirinya tak bisa melepaskan ayahnya dari pengaruh hoaks hingga terjangkit Covid-19.
“Itu yang jadi salah satu penyesalan saya sebenarnya. Kok enggak setiap hari diingetin terus, minimal untuk vaksin lah," ungkap Helmi.
Baca Juga: Ini Alasan Twitter Dr Faheem Younus Aktif Edukasi Soal Covid-19 Pakai Bahasa Indonesia
Ia mengatakan, ayahnya percaya dengan keberadaan virus SARS-CoV-2 di masa awal pandemi. Belakangan, ia mulai menerima kabar banyak hoaks, terutama saat ada rencana vaksinasi pemerintah.
Kabar-kabar menyesatkan itu menyebut vaksin terbuat dari babi dan berbahaya. Sementara, kabar lainnya menyebut banyak pasien Covid-19 meninggal akibat obat.
Akibatnya, ayah Helmi pun enggan menerima vaksin Covid-19. Ia juga takut minum obat dan pergi ke rumah sakit.
"Kalau dari yang saya rasakan, literasi digital itu ternyata harus ada. Kalau bahasa Islamnya kan memang kita harus bertabayun terhadap semua informasi. Mencari informasi yang benar, mengecek ulang semua berita. Enggak cuma percaya dari satu sumber saja, tapi yang perlu kita cek kan kajian ilmiahnya juga seperti apa," ujar Helmi.
Sumber : Kompas TV/Kompascom
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.