GILI TRAWANGAN, KOMPAS.TV – Satu siang jelang sore di pantai timur Gili Trawangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, di penghujung bulan Desember 2024. Matahari bersinar ala kadarnya, tertutup awan mendung yang melingkupi sejak pagi.
Air laut pasang, dan suhunya sedikit lebih dingin dari hari-hari biasa di musim panas.
Lima turis asing tampak berenang bergerombol di satu titik di laut sekitar 50 meter dari bibir pantai.
“Turtle! Turtle!” teriak mereka pada rekannya di pinggir pantai.
Yang diteriaki tampak bangun dari kursi kayu panjang di pantai, dan segera memasang masker dan snorkel, alat snorkeling, lalu bergegas mencebur ke laut dan berenang mendekat.
Sepasang suami istri di pantai juga bergegas memasang kamera bawah air di pergelangan tangan dan berenang menyusul ke rombongan turis-turis yang tengah berenang bergerombol.
Rupanya, sekawanan turis itu mendapati dua ekor penyu tengah ‘merumput’ alias mengunyah rerumputan di dalam laut.
Baca Juga: Pulau Sangalaki, Surga Konservasi Penyu dan Pesona Alam yang Memikat
Kedua penyu berkarapas kecokelatan itu tampak tak terusik dengan kehadiran wisatawan yang mengerumuni mereka.
Dua penyu berjenis penyu hijau itu tampak tetap asyik mengunyah rumput laut di sela koral. Padahal, biasanya penyu yang didekati manusia akan langsung bergerak menjauh. Mungkin dua penyu itu sudah terbiasa akan kehadiran manusia di sekeliling mereka.
Kendati bisa berada berdekatan dengan penyu, tidak dibenarkan menyentuh atau mengelus penyu. Lantaran, sentuhan manusia bisa membuat penyu bingung dan stres, yang bisa berujung pada kematian penyu.
Sesekali, kedua penyu itu berenang ke permukaan laut untuk mengambil napas. Penyu yang termasuk reptil, memang bernapas menggunakan paru-paru. Namun, penyu disebut mampu berenang di dalam air selama 3-7 jam tanpa mengambil napas.
Penyu Hijau, si hijau yang tak hijau ini, memang jadi primadona di perairan Gili Trawangan. Banyak wisatawan, baik mancanegara maupun nusantara, yang sengaja melakukan snorkeling khusus untuk ‘memburu’ si penyu hijau.
Bukan untuk ditangkap, melainkan untuk diajak foto bareng. Atau jikapun sulit diajak foto bareng, melihat penampakannya di dalam air saja, biasanya wisatawan sudah bahagia.
Penyu Hijau, si Hijau yang Tak Hijau
Melansir laman Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan penyu laut berkarapas keras paling besar.
Meskipun dinamakan Penyu Hijau, penyu ini tak memiliki sisik atau karapas berwarna hijau.
Penyu Hijau dinamakan demikian karena warna lemak di bawah karapasnya berwarna kehijauan.
Pola makan penyu hijau yang herbivora disebut jadi penyebabnya. Lantaran, Penyu Hijau hanya memakan tumbuhan laut seperti ganggang dan rumput lain yang notabene kebanyakan berwarna hijau.
Baca Juga: 11 Rekomendasi Aktivitas Seru di Gili Trawangan: Nonton Sunset di Atas Bukit hingga Belajar Surfing
Namun, saat masih muda, Penyu Hijau makan berbagai jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut, juga alga. Baru ketika dewasa, Penyu Hijau berubah menjadi herbivora, dan makanan utamanya adalah rumput laut.
Penyu Hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap tiga hingga empat tahun sekali.
Menurut daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), Penyu Hijau dianggap sebagai spesies yang rentan.
Sedangkan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Terancam Punah (CITES) mengategorikannya ke dalam Appendix I, artinya termasuk spesies paling terancam punah dan paling berisiko punah.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.