Dalam kasus ini, Miftah memilih opsi kedua: menjadikan seorang pedagang es teh sebagai bahan tertawaan di hadapan kerumunan. Tentu saja, ini disambut tawa yang meriah. Siapa yang peduli pada perasaan pedagang itu, bukan? Yang penting lucu.
Namun, mari kita lihat lebih dalam. Bukankah massa yang menertawakan itu adalah cerminan dari pemimpinnya? Miftah dengan bangga mengarahkan komunikasi publiknya ke arah ejekan, mengaburkan batas antara dakwah dan bullying. Jika ini adalah komunikasi massa ala seorang Gus, mungkin sudah waktunya kita mendefinisikan ulang gelar tersebut.
Gelar Gus: Anugerah atau Beban?
Berbicara tentang gelar Gus, ini bukan hanya simbol status, tetapi juga tanggung jawab. Miftah tentu paham bahwa gelar ini identik dengan para pemimpin pesantren dan tokoh agama yang dihormati. Namun, dengan cara berkomunikasi seperti ini, apakah beliau menyadari bahwa gelar ini lebih berat daripada sekadar popularitas?
Gelar Gus bukanlah tiket gratis untuk berbicara sembarangan. Ini adalah panggilan untuk menjaga martabat, baik milik sendiri maupun orang lain.
Gus Dur, tokoh yang selama ini menjadi panutan bagi gelar Gus, telah menciptakan standar yang sangat tinggi. Humor Gus Dur, misalnya, bukan sekadar candaan, melainkan alat untuk menyampaikan kebijaksanaan dan membuka dialog. Gus Dur tidak pernah menggunakan humornya untuk menjatuhkan orang lain. Ia justru merangkul, bahkan mereka yang berbeda pandangan.
Tapi Miftah? Dengan tindakan ini, beliau tidak hanya gagal mencapai standar itu, tetapi malah terjun bebas dengan gelar itu.
Kegagalan Komunikasi Publik
Dalam dunia komunikasi massa, ada satu prinsip sederhana: komunikasi yang baik mengangkat, bukan menjatuhkan. Miftah Maulana, dengan pengalaman dan pengaruhnya, seharusnya tahu bahwa ejekan yang diiringi tawa massa lebih mencerminkan arogansi daripada kebijaksanaan. Apakah ini dakwah atau stand-up comedy? Bahkan pelawak profesional tahu bahwa ada batas etika dalam melucu.
Baca Juga: Saat Utusan Khusus Presiden Minta Maaf ke Penjual Es Teh, Gus Miftah: Khilaf, Saya Sering Bercanda
Lebih ironis lagi, ini terjadi di era digital, di mana setiap ucapan dapat direkam dan disebarluaskan dalam hitungan detik. Tindakan semacam ini bukan hanya merusak reputasi pribadi, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap ulama secara umum.
Penutup: Dari Gus untuk Gus
Pesan untuk Miftah sederhana: gelar Gus adalah amanah, bukan sekadar label. Amanah ini menuntut kehati-hatian, empati, dan penghormatan terhadap orang lain, terutama mereka yang berada dalam posisi lemah. Jika ingin terus menggunakan komunikasi massa sebagai alat dakwah, pelajarilah cara melakukannya dengan benar.
Ingat, popularitas tidak akan melindungi Anda dari kritik, tetapi integritas akan.
Dan untuk kita semua, ini adalah pengingat bahwa pemimpin agama tidak kebal dari kesalahan. Gus Dur telah menetapkan standar tinggi yang sulit dicapai, tetapi itu adalah standar yang harus dihadapi oleh siapa saja yang menyandang gelar Gus.
Ketika seseorang seperti Miftah justru menjatuhkan standar itu, sudah sepatutnya kita bertanya: apakah kita masih layak menyebutnya Gus? Atau sudah waktunya beliau belajar lagi dari teladan sejati, Gus Dur?