Ecce venio ad Te, dulcissime Domine, quem amavi, quem quaesivi… quem semper optavi, dulcissime Domine. (Lihatlah, aku datang kepada-Mu, Tuhan yang kucintai, yang kucari… yang senantiasa kuinginkan, Tuhan yang sangat baik hati).
Lagu yang sangat indah ini, lirik dan komposisi lagunya ditulis oleh Bishop Tranquillo Guarneri on May 10, 1918. Sebelum Guarneri menulis lagu itu, pada abad ketiga St Agnes sudah mendaraskan doa yang hampir sama. Mungkin Guarneri terinspirasi doa St Agnes ini:
Ecce, venio ad te, quem amavi, quem quæsivi, quem semper optavi. (Lihatlah, aku datang kepadamu yang kucintai, yang kucari, yang senantiasa kuinginkan).
Dengan menyanyikan lahu Ecce venio ad Te, mereka tidak hanya datang pada Tuhan, melainkan lebih jauh lagi, yakni menyerahkan diri sepenuhnya: “Inilah aku. Inilah hidupku seutuhnya. Hidupku ini seluruhnya kubawa kehadapan Tuhan….”
Itulah inti dari kaul kekal mereka; sebenarnya juga pertama dan kedua mereka: menyerahkan seluruh hidupnya kepada “Yang Empunya Kehidupan.”
Mereka bersama-sama mempersembahkan diri secara total. Lihatlah, inilah aku. Inilah hidupku seutuhnya. Utuslah aku, pakailah hidupku. Aku siap untuk menghadapi segala risiko.
Mereka tidak hanya mengucapkan kata-kata kosong, namun melakukannya. Mereka tidak hanya berjanji, tapi terus menggenapinya. Mereka tahu, kepada siapa mereka menyerahkan tidak hanya jiwa-raganya, tetapi seluruh hidupnya.
Sambil membuka dan merentangkan tangannya seperti sebuah buku yang dibuka, mereka berdiri dengan penuh hormat dan penuh kerendahan hati di dalam kehadiran Allah.
Ketika lagu itu mengalun, suara para suster memenuhi gereja, semua terdiam. Semua terhanyut seperti dibawa menyusup ke semua sudut-sudut gereja, ke balik patung-patung orang-orang kudus yang indah, menempel ke fresko-fresko indah di dinding dan langit-langit basilika.
***
Dengan mempersembahkan diri, mereka berkaul untuk setia dan taat pada panggilan hidupnya. Karena mereka tidak hanya tahu tetapi meyakini bahwa masing-masing tugas panggilan ada rahmat atau karunianya sendiri.
Kata Paus Fransiskus, kepada para peserta Sidang Pleno Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, 28 Januari 2017: kesetiaan dan ketekunan adalah kunci keutamaan kehidupan kaum religius.
Banyak orang tahu kuncinya itu, tetapi tidak bisa atau tidak mau menggunakannya. Mereka memilih untuk mendobrak, menjebol pintu atau mendobrak jendela dan lalu melompatinya. Mereka beranggapan bahwa menjebol, mendobrak pintu dan jendela adalah aksi kepahlawanan.
Baca Juga: Argos dan Odysseus
Padahal bukan. Itu adalah aksi kepengecutan. Sebab, ketika komitmen untuk taat dan setia menjadi lemah, hal apa pun dapat menjadi alasan untuk meninggalkan jalan yang telah ditempuh dan merusak tatanan yang ada.
Kesetiaan dan ketaatan, memang mudah diucapkan tetapi tidak mudah dilaksanakan. Selalu ada saja yang meruntuhkan kesetiaan dan ketaatan. Apalagi di zaman sekarang ini, budaya serba sementara lah yang paling berkuasa. Semua serba sementara, yang abadi hanyalah kepentingan.
Demi kepentingan maka kesetiaan dan ketaatan pun disingkirkan. Apalagi, dengan segala kebebasan yang dimiliki, manusia bisa dan bebas memilih jalan baik atau jalan sesat; jalan kesetiaan dan ketaatan atau jalan pengkhianatan.
Mereka yang memilih jalan sesat, jalan pengkhianatan, tentu tidak akan pernah berani mengatakan: Ecce venio ad Te….Domine. ***
*Penulis adalah mantan wartawan Harian Kompas yang saat ini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.