Hari Rabu, 30 Mei 2023, pukul 06.46, pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat di Bandara Sentani, Jayapura. Pagi itu, saya menghirup udara Papua, “surga kecil yang jatuh ke bumi”, kata Franky Sahilatua.
Benarkah Papua itu “surga kecil”? Pertanyaan itu mengusik hatiku ketika berjalan keluar menyusuri koridor bandara menuju jalan keluar.
Saya sudah tak begitu ingat lagi seperti apa “surga kecil” itu. Sebab, seingat saya, terakhir kali mengunjungi “surga kecil” itu tahun 1987, meliput kampanye pemilu oleh Mensos Nani Soedarsono.
Ketika itu, pemilu diselenggarakan secara serentak, pada tanggal 23 April 1987 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1987-1992.
Kali ini pun, saya ke Papua ketika hawa Pemilu 2024, sudah terasa. Angin pemilu sudah mulai bertiup. Baunya terasa menyentuh hidung. Wajahnya menabrak mata.
Di mana-mana ada baliho wajah calon-calon presiden; calon anggota legislatif. Bendera-bendera partai berkibaran di banyak tempat. Janji-janji politik menjadi menu sehari-hari.
Tetapi, saya ke Papua tidak ada urusannya dengan pemilu. Tidak! Melainkan urusan kemanusiaan. Saya ke “surga kecil”, mengikuti perjalanan safari kemanusiaan Menteri Sosial Tri Rismaharini: ke Jayapura, Yapen, Skouw, Muara Tami, Agats, dan Biak.
Ketika “yang lain” sibuk urusan politik kekuasaan, Mensos memilih urusan politik kemanusiaan.
“Ya, dari awal mau merayakan Hari Lahir Pancasila, mencoba menerjemahkan Pancasila dalam tindakan. Bukan hanya persatuan Indonesia dan keadilan sosial yang kita terjemahkan, dalam hal ini supaya warga Asmat bisa merasakan bahwa Pancasila ada maknanya bersama-sama kami,” kata Risma, Kamis (1/6/2023), di Agats.
Tak sepotong kata pun yang disampaikan Mensos dalam setiap kesempatan bertemu dengan masyarakat dan para pemimpin masyarakat serta pemimpin agama yang bersangkut paut dengan politik kekuasaan.
Yang selalu disampaikan adalah merealisasikan politik kemanusiaan, politik keadilan, politik kesejahteraan.
Memang demikian seharusnya: politik merupakan alat untuk mengabdi pada kemanusiaan, bukan menghamba pada kekuasaan.
Meminjam apa kata Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperkeruh suasana. Tetapi, dalam praktiknya saat ini tidaklah seperti itu.
Maka, apa yang dilakukan Mensos di Papua, telah mengubah wajah bengis politik menjadi tersenyum manis.
Yang dilakukan Mensos–dengan menyapa masyarakat, mendengarkan keluhan, tuntutan, dan permintaan masyarakat, serta memberikan bantuan–telah menampilkan politik tidak sepenuhnya kotor, politik tidak sepenuhnya jahat.
Sebab, politik juga dapat memanusiakan manusia; karena yang dilakukan adalah politik kemanusiaan.
Kata Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti (Semua Bersaudara), Politik Kemanusiaan adalah politik berbasiskan amal kasih.
Politik ini merangkul semua pihak untuk mempromosikan kemanusiaan. Kemanusiaan adalah pemikiran dan tindakan yang sangat beradab, dilaksanakan untuk memuliakan ras manusia secara keseluruhan.
Bukankah kemanusiaan lebih penting dari politik, kata Gus Dur. Politik tanpa kemanusiaan akan melahirkan kekuasaan yang tidak peduli bahkan dapat menindas kemanusiaan.
***
Memanusiakan manusia. Itu kata kuncinya. Kata kunci dari (seharusnya) setiap kebijakan dan tindakan dari pemerintah, lembaga-lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga non-pemerintah. Sebab, sejatinya makna Pancasila adalah memanusiakan manusia.
Kata Uskup Agung Semarang yang juga pahlawan nasional, Mgr Albertus Soegijapranata (1940), kemanusiaan itu satu, bangsa manusia itu satu.
Kendati berbeda bangsa (suku dan etnik), asal-usul, dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar (umat manusia).
Memanusiakan manusia juga menjadi ajaran semua agama. Agama apapun tidak ada yang membenarkan tentang penindasan makhluk hidup. Semua agama menitikberatkan kepada kemanusiaan. Karena dengan rasa kemanusiaan, manusia mendapatkan kebebasan untuk hidup.
Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajak umatnya untuk menyebarkan dan melakukan kekerasan. Bila ternyata ada, yang salah bukanlah agamanya, tetapi bisa saja orang yang ada di dalamnya memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya.
Namun, harus diakui bahwa pada suatu masa, “surga kecil” yang luasnya sekitar enam kali Pulau Jawa dengan sekitar 300 suku itu kehilangan sentuhan kemanusiaan. Manusia dan kemanusiaan, kurang mendapat perhatian.
Pada ketika itu, politik kekuasaan mendominasi atau bahkan satu-satunya yang hidup. Manusia dan kemanusiannya kurang (tidak) terawat. Maka di “surga kecil” itu laksana sebidang lahan “tumbuh onak dan duri, semak-belukar.”
Dalam Jurnal Kajian Lemhanas (edisi 37, Maret 2019) Laksamana Muda TNI (Purn.) Untung Suropati menulis setidaknya terdapat lima isu strategis yang menjadi akar masalah Papua, yaitu sejarah integrasi Papua ke Indonesia; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; kegagalan pembangunan Papua; inkonsistensi kebijakan Jakarta; dan strategi penanggulangan gangguan keamanan.
Sejak Papua dibebaskan dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi tanggal 1 Mei 1963, sejarah integrasi Papua terus dipersoalkan oleh kelompok nasionalis Papua.
Mereka menganggap proses integrasi Papua ke Indonesia tidak sah karena penuh rekayasa. Anggapan tersebut tentu tidak terlepas dari intrik politik kekuasaan selama proses dekolonisasi berlangsung sejak Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus-2 November 1949.
Seringnya terjadi kekerasan politik dan pelanggaran HAM disebabkan kebijakan Orde Baru yang cenderung mengesampingkan pendekatan persuasif, sebaliknya mengedepankan tindakan represif.
Kegagalan pembangunan Papua dipicu banyak faktor, antara lain kebijakan Orde Baru yang justru membuat rakyat Papua terpinggirkan.
Selain itu, pengaruh kapitalisme internasional yang ujung-ujungnya eksploitasi kekayaan alam Papua.
Inkonsistensi kebijakan Jakarta, khususnya terkait implementasi Otonomi Khusus (Otsus) terutama pada masa-masa pemerintahan pasca-reformasi, juga menjadi masalah.
Strategi penanggulangan gangguan keamanan, khususnya aksi kekerasan yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dinilai tidak efektif karena strategi yang diterapkan kurang mempertimbangkan kondisi psikologis dan aspek sosial-budaya masyarakat setempat.
***
Akibat kebijakan yang kurang pas (tidak tepat) tersebut, masyarakat Papua mengalami ketertinggalan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan serta tentu keadilan. Karena semua itu, perdamaian jauh dari “surga kecil” itu.
Dalam situasi seperti itu, Gereja Katolik Papua, misalnya, terus mengupayakan terciptanya situasi damai sehingga pembangunan masyarakat bisa berlangsung.
Gereja melihat dan berkeyakinan bahwa penyelesaian masalah Papua paling tepat adalah dengan pendekatan budaya; budaya kasih; budaya memanusiakan manusia.
Berbagai upaya dapat dilakukan baik pelayanan internal maupun eksternal, di mana Gereja Katolik berperan membangun kerja sama dengan gereja lain maupun agama lain untuk bersama-sama memperjuangkan tercipta perdamaian.
Gereja Katolik juga membangun pendekatan, komunikasi, kerja sama, dan jaringan dengan masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam berbagai bidang.
Dalam bahasa Ferry Sutrisna Wijaya (2023), Gereja Katolik terus “belajar mencintai Papua.” Kita pun, harus belajar mencintai Papua.
Jadi tidak hanya disejahterakan dengan pembangunan fisik, tapi sentuhan hati. Untuk bisa menyentuh hati mereka, perlu mengenalnya; setelah mengenal baru mencintainya. Tanpa mencintainya, tak mungkin menyelesaikan masalah Papua yang sudah telanjur rumit.
Kata pepatah, Amor vincit omnia, cinta mengalahkan semuanya. Kasih berdaya membawa perubahan di level sosial.
Kegiatan-kegiatan kemanusiaan akan lebih maksimal terasa manfaatnya ketika berkolaborasi dengan pemberdayaan. Karena pemberdayaan adalah perpaduan antara membuat cerdas, terampil, dan termotivasi ke arah membangun sebuah kondisi lebih sejahtera.
Itulah yang dilakukan Mensos Tri Rismaharini. Ia memilih jalan lain; jalan hati, jalan belas kasih. Mensos tahu sepenuhnya yang dilakukan Gereja.
Maka Mensos berpendapat, saat ini, Gereja lah “jalan lurus” untuk menyalurkan segala macam bantuan. Karena Gereja ibarat “talang air” yang tidak bocor; maka air mengalir sepenuhnya sampai tujuan.
Dan, Mensos datang ke berbagai wilayah di Papua tidak dengan kekuatan dan kekuasaan. Tapi, dengan hati yang terbuka menerima mereka; dengan kedua telinga mendengar keluhan, permintaan, dan tuntutan mereka; dengan kedua tangan memeluk mereka; dengan senyum dan tawa bersama mereka.
Kata Presiden Jokowi, rakyat Papua butuh didengarkan, diajak berbicara.
Ia ingin “surga kecil” itu benar-benar memberikan kedamaian karena kebutuhan dasar mereka terpenuhi.
***
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.