Kompas TV internasional kompas dunia

Daftar Kebijakan Kontroversial Donald Trump: WNI Ikut Terdampak, 4.000 Lebih Terancam Deportasi

Kompas.tv - 20 Maret 2025, 06:50 WIB
daftar-kebijakan-kontroversial-donald-trump-wni-ikut-terdampak-4-000-lebih-terancam-deportasi
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tiba dengan Air Force One di Bandara Internasional Palm Beach, Palm Beach, Florida, AS, Jumat, 14 Maret 2025. (Sumber: AP/Manuel Balce Ceneta)
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim | Editor : Gading Persada

WASHINGTON, KOMPAS.TV - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat sederet kebijakan kontroversial sejak dilantik pada 20 Januari 2025 lalu. Kebijakan ini turut berdampak ke warga negara Indonesia yang tinggal di Negara Paman Sam tersebut.

Sejak masa kampanye, Trump telah menjanjikan kebijakan imigrasi agresif yang bertujuan mengusir 'alien' dari AS. Rezim Trump bahkan berupaya mengaktifkan Undang-Undang Alien Musuh, produk hukum tahun 1798 yang digunakan pada masa darurat militer.

Selain kebijakan imigrasi yang agresif, Trump juga menuai sorotan di komunitas internasional dengan menarik AS dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Salah satu negara adi daya itu pun membubarkan Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) yang memiliki berbagai program di luar negeri.

Kebijakan kontroversial Donald Trump pun segera menuai reaksi dari berbagai pihak di AS. US News melaporkan, setidaknya sembian perintah eksekutif Trump telah digugat ke pengadilan dan empat di antaranya ditangguhkan hakim federal.

Baca Juga: Gedung Putih Ungkap Netanyahu Minta Restu Trump sebelum Gempur Gaza, Ancam Neraka Akan Pecah

Berikut daftar sejumlah kebijakan kontroversial Donald Trump sejak menjabat pada Januari lalu.

Imigrasi makin agresif, ribuan WNI terancam deportasi

Donald Trump langsung ancang-ancang melakukan deportasi massal sejak memenangkan pemilu pada awal November 2024 lalu. Dinas Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) dikerahkan mendata imigran 'bermasalah', termasuk WNI.

Menurut data yang diterima Kementerian Luar Negeri RI per November 2024, terdapat 4.276 WNI yang masuk daftar final order of removal atau terancam dideportasi. Pada awal Maret, seorang WNI dideportasi dari San Fransisco dan tiga lainnya diproses secara hukum.

ICE menyatakan, pada 50 hari pertama pemerintahan Trump, pihaknya telah menangkap 32.809 imigran. ICE mengklaim hampir setengahnya adalah terpidana, sedangkan 9.980 orang memiliki dakwaan pidana yang tertunda.

Langkah deportasi massal Trump memasuki babak baru dengan penerapan UU Alien Musuh 1789. Pemerintah AS menggunakan UU ini untuk mendeportasi ratusan imigran ke El Salvador.

Pemerintahan Trump menerapkan UU tersebut dengan alasan AS sedang diinvasi geng Venezuela, Tren de Aragua. Kelompok masyarakat sipil kemudian menggugat langkah tersebut ke pengadilan.

Pada Sabtu (19/3), hakim federal AS menetapkan pemerintah tidak bisa mendeportasi imigran dengan UU tersebut. Hakim juga sempat memerintahkan dua pesawat yang mengangkut lebih dari 200 imigran dalam perjalan ke El Salvador untuk putar balik, tetapi diabaikan.

Pemerintah AS kemudian disidang pada Senin (17/3) terkait pengabaian perintah itu. Hakim Distrik James E. Boasberg bertanya kepada perwakilan pemerintah mengapa perintah pengadilan diabaikan.

Pemerintah beralasan, perintah verbal hakim dianggap tidak berkekuatan hukum. Deputi Jaksa Agung Abhishek Kambli beralasan, saat perintah tertulis diterima, pesawat telah keluar dari wilayah udara AS sehingga tidak bisa disuruh putar balik.

Dana bantuan lenyap atas nama efisiensi

Donald Trump juga menuai kontroversi usai menerapkan efisiensi anggaran besar-besaran yang dieksekusi Departemen Efisinsi Pemerintah (DOGE) pimpinan Elon Musk.

DOGE bertanggung jawab atas pembubaran USAID dan pemecatan staf serta pegawai dalam masa percobaan di berbagai kementerian/lembaga.

Associated Press melaporkan, pemerintahan Trump merumahkan seluruh pegawai federal dalam masa percobaan atau yang bekerja kurang dari setahun. Per Maret 2024, tercatat ada 220.000 pegawai federal yang masuk dalam kategori tersebut.

Pembubaran USAID pun disertai pembatalan kontrak bantuan kemanusiaan di berbagai penjuru dunia. Trump memutuskan untuk membatalkan 90 persen kontrak bantuan luar negeri USAID, berdampak ke program-program penanganan polio, HIV, serta penyakit menular lain.

Efisiensi menimbulkan krisis dalam program penanganan HIV di Afrika Selatan yang selama ini melayani sekitar 5,5 juta orang. Hilangnya pendanaan dari program Rencana Darurat Presiden untuk Penanganan AIDS (PEPFAR) yang diluncurkan Presiden George W. Bush pada 2003 silam disebut menimbulkan krisis di Afrika.

Sejak diluncurkan, PEPFAR diperkirakan telah membantu lebih dari 26 juta pengidap HIV di seluruh dunia.

Baca Juga: Kebijakan Trump Bikin Pekerja Purna Waktu Voice of America Terancam Dipecat, Direktur: VOA Dibungkam

"Kita akan melihat banyak yang kehilangan nyawa. Kita akan melihat (penanganan) epidemi mundur karena ini," kata Direktur Pusat HIV Desmond Tutu Linda-Gail Bekker usai pembubaran USAID.

Kebijakan efisiensi Trump turut menyasar sektor media dengan PHK massal di Voice of America (VoA). Per Sabtu (15/3) lalu, Trump memerintahkan pemangkasan besar-besaran di US Agency for Global Media yang menaungi VoA, Radio Free Europe, hingga Radio Marti di Kuba.

Direktur VoA menyatakan pemangkasan ini memaksa lembaga tersebut merumahkan seluruh karyawan dalam cuti administratif.

Pengkritik Israel dibungkam

Pemerintahan Donald Trump memantik perdebatan sengit mengenai kebebasan berkepsresi usai menangkap dan mendeportasi mahasiswa dan dosen yang dituduh 'anti-Israel.'

Pekan lalu, pemerintah AS mendeportasi asisten profesor di Universitas Brown, Rohde Island atas tuduhan 'simpatisan teroris.'

Dr. Rasha Alawieh dideportasi karena menghadiri pemakaman pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah di Beirut, Lebanon beberapa waktu lalu. 

Selain itu, petugas imigrasi Trump juga menangkap lulusan Universitas Columbia, Mahmoud Khalil atas dasar melanggar perintah eksekutif Trump yang melarang 'anti-semitisme.'

Pemerintah AS sebelumnya menyatakan akan mencabut visa studi Mahmoud Khalil. Namun, setelah mengetahui pria keturunan Palestina itu memiliki izin tinggal permanen, pemerintah berupaya mencabutnya.

Khalil merupakan pentolan demonstrasi di Universitas Columbia yang menentang perang Israel di Jalur Gaza. Maraknya demonstrasi membuat Trump mengancam akan memangkas pendanaan universitas karena dinilai gagal meredam "anti-semitisme."

Kuasa hukum Khalil menilai penahanan aktivis Palestina tersebut melanggar hak konstitusionalnya, termasuk perlindungan kebebasan berekspresi.

"Penangkapan saya adalah konsekuensi langsung dari hak kebebasan berbicara saya karena saya menyuarakan Palestina yang merdeka dan penghentian genosida di Gaza yang berlanjut kembali sejak Senin malam," demikian pernyataan Khalil dikutip The Guardian.

Donald Trump sendiri mengeluarkan perintah eksekutif untuk mendeportasi 'simpatisan Hamas' seiring maraknya demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus AS. Usai perintah eksekutif ini, kelompok-kelompok lobi Israel segera mengirimkan "daftar deportasi" kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti.

Baca Juga: Hakim Federal Putuskan Pembubaran USAID Berpotensi Inkonstitusional, Peran Elon Musk Dipertanyakan


 

Kami memberikan ruang untuk Anda menulis

Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.

Daftar di sini



Sumber : US News, Associated Press, Guardian




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x