Pembubaran USAID pun disertai pembatalan kontrak bantuan kemanusiaan di berbagai penjuru dunia. Trump memutuskan untuk membatalkan 90 persen kontrak bantuan luar negeri USAID, berdampak ke program-program penanganan polio, HIV, serta penyakit menular lain.
Efisiensi menimbulkan krisis dalam program penanganan HIV di Afrika Selatan yang selama ini melayani sekitar 5,5 juta orang. Hilangnya pendanaan dari program Rencana Darurat Presiden untuk Penanganan AIDS (PEPFAR) yang diluncurkan Presiden George W. Bush pada 2003 silam disebut menimbulkan krisis di Afrika.
Sejak diluncurkan, PEPFAR diperkirakan telah membantu lebih dari 26 juta pengidap HIV di seluruh dunia.
Baca Juga: Kebijakan Trump Bikin Pekerja Purna Waktu Voice of America Terancam Dipecat, Direktur: VOA Dibungkam
"Kita akan melihat banyak yang kehilangan nyawa. Kita akan melihat (penanganan) epidemi mundur karena ini," kata Direktur Pusat HIV Desmond Tutu Linda-Gail Bekker usai pembubaran USAID.
Kebijakan efisiensi Trump turut menyasar sektor media dengan PHK massal di Voice of America (VoA). Per Sabtu (15/3) lalu, Trump memerintahkan pemangkasan besar-besaran di US Agency for Global Media yang menaungi VoA, Radio Free Europe, hingga Radio Marti di Kuba.
Direktur VoA menyatakan pemangkasan ini memaksa lembaga tersebut merumahkan seluruh karyawan dalam cuti administratif.
Pemerintahan Donald Trump memantik perdebatan sengit mengenai kebebasan berkepsresi usai menangkap dan mendeportasi mahasiswa dan dosen yang dituduh 'anti-Israel.'
Pekan lalu, pemerintah AS mendeportasi asisten profesor di Universitas Brown, Rohde Island atas tuduhan 'simpatisan teroris.'
Dr. Rasha Alawieh dideportasi karena menghadiri pemakaman pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah di Beirut, Lebanon beberapa waktu lalu.
Selain itu, petugas imigrasi Trump juga menangkap lulusan Universitas Columbia, Mahmoud Khalil atas dasar melanggar perintah eksekutif Trump yang melarang 'anti-semitisme.'
Pemerintah AS sebelumnya menyatakan akan mencabut visa studi Mahmoud Khalil. Namun, setelah mengetahui pria keturunan Palestina itu memiliki izin tinggal permanen, pemerintah berupaya mencabutnya.
Khalil merupakan pentolan demonstrasi di Universitas Columbia yang menentang perang Israel di Jalur Gaza. Maraknya demonstrasi membuat Trump mengancam akan memangkas pendanaan universitas karena dinilai gagal meredam "anti-semitisme."
Kuasa hukum Khalil menilai penahanan aktivis Palestina tersebut melanggar hak konstitusionalnya, termasuk perlindungan kebebasan berekspresi.
"Penangkapan saya adalah konsekuensi langsung dari hak kebebasan berbicara saya karena saya menyuarakan Palestina yang merdeka dan penghentian genosida di Gaza yang berlanjut kembali sejak Senin malam," demikian pernyataan Khalil dikutip The Guardian.
Donald Trump sendiri mengeluarkan perintah eksekutif untuk mendeportasi 'simpatisan Hamas' seiring maraknya demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus AS. Usai perintah eksekutif ini, kelompok-kelompok lobi Israel segera mengirimkan "daftar deportasi" kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti.
Baca Juga: Hakim Federal Putuskan Pembubaran USAID Berpotensi Inkonstitusional, Peran Elon Musk Dipertanyakan
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : US News, Associated Press, Guardian
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.