DEIR AL-BALAH, KOMPAS.TV – Enam bayi dilaporkan meninggal akibat hipotermia dalam dua pekan terakhir di Jalur Gaza.
Cuaca dingin yang melanda wilayah tersebut memperburuk kondisi para pengungsi yang masih bertahan di tenda-tenda darurat dan bangunan yang hancur akibat perang.
Gaza tengah menghadapi musim dingin yang basah dan dingin, dengan suhu turun di bawah 10 derajat Celsius pada malam hari.
Ratusan ribu warga yang kehilangan tempat tinggal akibat perang kini bertahan di bawah tenda dan puing-puing bangunan tanpa perlindungan yang memadai.
Baca Juga: Pemimpin Negara-Negara Arab Bahas Rencana Trump soal Gaza di Riyadh, Upaya Rekonstruksi Jadi Fokus
Di sebuah tenda pengungsian, Yusuf al-Shinbari terbangun di tengah malam dan menemukan putrinya yang berusia dua bulan, Sham, sudah tidak bernyawa.
Ia segera membawanya ke rumah sakit, tetapi nyawa bayi itu tak tertolong.
"Kemarin saya masih bermain dengannya. Saya bahagia bersamanya. Dia anak yang cantik seperti bulan," kata Yusuf, dikutip dari Associated Press, Rabu (26/2/2025).
Menurut Dr. Ahmed al-Farah, Kepala Departemen Anak di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis, Sham tidak memiliki riwayat penyakit tetapi meninggal akibat suhu dingin yang ekstrem.
Di Rumah Sakit Patient’s Friends, Kota Gaza, lima bayi lainnya—berusia satu bulan atau lebih muda—juga meninggal karena kedinginan dalam dua pekan terakhir.
Zaher al-Wahedi, Kepala Departemen Pencatatan di Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan, sepanjang musim dingin ini sudah ada 15 anak yang meninggal akibat hipotermia.
Gencatan senjata yang berlangsung saat ini memungkinkan masuknya lebih banyak bantuan kemanusiaan, terutama makanan.
Namun, para pengungsi masih kekurangan selimut, pakaian hangat, serta bahan bakar untuk menghangatkan diri.
"Sangat dingin di sini. Saya tidak tahu bagaimana orang bisa tidur di dalam tenda yang hanya terbuat dari kain tipis," kata Rosalia Bollen, juru bicara UNICEF, awal bulan ini.
Sejak awal perang, Gaza tidak lagi memiliki pasokan listrik, sementara bahan bakar untuk generator semakin langka.
Baca Juga: Uni Eropa Tegas ke Israel: Tolak Pemindahan Paksa Warga Palestina dari Gaza
Sementara itu, sangat banyak keluarga yang bertahan dengan tidur di atas pasir basah atau lantai beton tanpa alas.
Gencatan senjata saat ini memungkinkan sebagian warga kembali ke Gaza utara.
Namun, mereka harus tinggal di tengah reruntuhan tanpa kejelasan kapan rumah mereka bisa dibangun kembali.
Bank Dunia memperkirakan biaya rekonstruksi Gaza mencapai lebih dari 50 miliar dolar AS.
Dibutuhkan waktu bertahun-tahun hanya untuk membersihkan puing-puing sebelum pembangunan kembali bisa dimulai.
Sementara itu, Israel menyalahkan Hamas atas kehancuran di Gaza, dengan alasan menempatkan terowongan, peluncur roket, dan infrastruktur militer lainnya di kawasan permukiman.
Sementara itu, Hamas menuduh Israel menghambat masuknya rumah-rumah portabel dan tenda yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap gencatan senjata.
Israel membantah tuduhan tersebut dan justru balik menuding Hamas melanggar kesepakatan.
Akibatnya, Israel sempat menunda pembebasan ratusan tahanan Palestina pada akhir pekan lalu sebagai protes terhadap tindakan Hamas yang mempertontonkan sandera mereka di depan umum sebelum dibebaskan.
Serangan Hamas pada 7 Oktober menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, serta menculik sekitar 250 sandera.
Saat ini, lebih dari 60 sandera masih berada di Gaza, dengan sekitar setengahnya diduga telah meninggal.
Di sisi lain, serangan udara dan darat Israel telah menyebabkan lebih dari 48.000 warga Palestina tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Laporan tersebut tidak merinci berapa banyak korban yang merupakan anggota kelompok bersenjata.
Israel mengeklaim telah menewaskan lebih dari 17.000 pejuang, tetapi belum memberikan bukti atas klaim tersebut.
Baca Juga: Gambar Udara Detik-Detik Hamas Membebaskan Tiga Sandera Asal Israel di Gaza
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.