BEIJING, KOMPAS TV - China meluncurkan rudal balistik antarbenua (ICBM) ke Samudra Pasifik hari Rabu, (25/9/2024), menambah ketegangan di wilayah yang sudah diperebutkan oleh beberapa negara dengan klaim teritorial yang tumpang tindih.
Beijing dan Washington bersaing untuk memperluas pengaruh di Asia Pasifik, sementara China memperkuat postur nuklirnya.
Peluncuran tersebut merupakan bagian dari latihan rutin Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat China, unit yang bertanggung jawab atas operasi rudal konvensional dan nuklir. Dalam pernyataannya, Kementerian Pertahanan China menegaskan bahwa uji coba ini tidak ditujukan kepada negara atau target tertentu, seperti laporan Associated Press hari Rabu, 25 September 2024.
ICBM tersebut membawa hulu ledak tiruan dan mendarat di area yang telah ditentukan di laut, meski lokasi pastinya tidak diungkapkan. China jarang melakukan uji coba ICBM di perairan internasional. Uji coba terakhir yang tercatat terjadi pada Mei 1980, saat rudal DF-5 ditembakkan ke Samudra Pasifik Selatan.
Baca Juga: Waduh, China Uji Coba Rudal Balistik Antarbenua ke Samudra Pasifik
Mengapa Pasifik, Mengapa Sekarang?
Keputusan China untuk melakukan uji coba di Samudra Pasifik dipandang sebagai pameran kemampuan nuklirnya yang semakin meningkat dan peringatan langsung bagi Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan tersebut. Steve Tsang, direktur SOAS China Institute di London, mengatakan tidak ada audiens potensial lain selain AS dan sekutunya, karena China tidak memproyeksikan konfrontasi militer dengan Uni Eropa atau Inggris.
Uji coba ini terjadi beberapa minggu sebelum dugaan pembicaraan Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden, serta meningkatnya ketegangan keamanan di kawasan dengan sekutu-sekutu AS seperti Jepang dan Filipina. Ini juga berlanjut dengan friksi yang berlangsung dengan Taiwan, pulau yang memerintah sendiri namun diklaim oleh Beijing sebagai wilayahnya.
Kementerian Pertahanan Taiwan menyatakan pada hari Rabu bahwa mereka memantau peluncuran rudal ini bersamaan dengan latihan militer China lainnya di wilayah tersebut. Peluncuran ini, yang bertepatan dengan pertemuan Majelis Umum PBB di New York, dinilai sebagai sinyal tegas terhadap tatanan internasional kata Drew Thompson, senior fellow di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura, dan mantan pejabat pertahanan AS.
“China mengisyaratkan bahwa kesabarannya ada batasnya dan siap menggunakan senjata paling kuatnya untuk menghalau musuh atau menghukum mereka jika pencegahan gagal,” ujar Thompson.
Baca Juga: Beijing Kecam Washington: Isu Ancaman Nuklir China Hanya Dalih untuk Memperluas Arsenal Nuklir AS
Kekuatan Militer China
China memiliki angkatan bersenjata terbesar di dunia. Anggaran militernya adalah yang terbesar kedua di dunia, hanya kalah dari Amerika Serikat. Menurut laporan dari Departemen Pertahanan AS, China juga memiliki kekuatan udara terbesar di kawasan Indo-Pasifik, dengan lebih dari setengah jet tempurnya terdiri dari model generasi keempat dan kelima.
Selain itu, China memiliki persediaan besar rudal, pesawat siluman, pengebom yang mampu membawa senjata nuklir, kapal perang canggih, dan kapal selam bertenaga nuklir.
Xi Jinping, yang memimpin lebih dari satu dekade, telah mendorong modernisasi angkatan bersenjata China dengan investasi besar dalam teknologi militer canggih, termasuk pesawat tempur siluman dan kapal induk. China juga terus memperluas persenjataan nuklirnya.
Anggaran pertahanan China lebih dari dua kali lipat sejak 2015, meskipun pertumbuhan ekonomi negara itu melambat. Laporan Departemen Pertahanan AS tahun lalu menyebutkan bahwa China terus memperkuat kemampuan Tentara Pembebasan Rakyat untuk "bertarung dan menang dalam perang melawan musuh yang kuat."
Baca Juga: Duh! Petinggi Militer AS Sebut Senjata Nuklir China Makin Mengkhawatirkan
Perbandingan Rudal Nuklir China dengan Negara Lain
Laporan AS memperkirakan bahwa China memiliki lebih dari 500 hulu ledak nuklir operasional pada Mei 2023 dan diproyeksikan akan memiliki lebih dari 1.000 hulu ledak operasional pada 2030. Namun, China tidak pernah mengungkapkan ukuran pasti persenjataan nuklirnya.
Sebagai perbandingan, Rusia diperkirakan memiliki lebih dari 5.580 hulu ledak, termasuk 4.380 untuk kekuatan operasional dan tambahan 1.200 yang menunggu untuk dibongkar. Sementara itu, AS memiliki 5.044 hulu ledak nuklir.
Uji Coba Rudal di Kawasan
Beberapa negara memiliki ICBM dalam persenjataan mereka, namun pengujian biasanya dibatasi di wilayah mereka sendiri. Korea Utara, misalnya, telah melakukan beberapa kali uji coba ICBM sejak 2017, termasuk menembakkan rudal berbahan bakar padat pada Desember yang mendarat di perairan antara Semenanjung Korea dan Jepang.
AS juga telah meluncurkan dua ICBM tak bersenjata dari California tahun ini, yang jatuh di lokasi uji coba Amerika di Kepulauan Marshall.
Sementara itu, uji coba ICBM China jarang dilakukan di perairan internasional. Para ahli menyebut peluncuran ini sebagai tanda kekuatan China yang semakin berkembang, terutama di tengah meningkatnya ketegangan dengan AS di Asia Pasifik.
Menurut James Acton, co-director Nuclear Policy Program di Carnegie Endowment for International Peace, langkah ini mencerminkan uji coba yang sering dilakukan oleh Amerika Serikat dengan armada rudal balistiknya.
"Ketika mereka tidak melakukan hal seperti ini selama 44 tahun, lalu tiba-tiba melakukannya, itu signifikan," kata Acton. "Ini cara China memberitahu kita bahwa, 'Seperti kalian, kami tidak malu memiliki senjata nuklir dan akan berperilaku seperti kekuatan nuklir besar.'"
Baca Juga: Serahkan Dokumen Ratifikasi, Indonesia Resmi Bergabung Traktat Pelarangan Senjata Nuklir
Pesan Tersirat di Balik Uji Coba
Peluncuran ini juga terjadi di tengah penangkapan terkait korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi Pasukan Roket China, serta penahanan dua mantan menteri pertahanan terkait dugaan pelanggaran. Peluncuran rudal ini bisa menjadi cara untuk memberikan kepastian kepada publik domestik di tengah perlambatan ekonomi, sekaligus sinyal kepada dunia bahwa Partai Komunis China tetap memegang kendali penuh dan bertekad untuk mencapai status kekuatan global.
"Kita memasuki era baru, era di mana AS dan China terlibat dalam apa yang terasa seperti perlombaan senjata," ujar Jeffrey Lewis, pakar rudal di James Martin Center for Nonproliferation Studies di Middlebury Institute of International Studies, AS.
"Pemerintah China kini menekankan kesiapan operasional dibandingkan isu-isu diplomatik. Ini adalah China yang tidak merasa terbatas," tambahnya.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.