TOMISATO, KOMPAS.TV - Di Jepang, seorang perempuan yang diduga menjadi pelaku penguntitan seorang laki-laki berhasil mendaftarkan pernikahan mereka berdua ke catatan sipil tanpa persetujuan sang laki-laki. Kasus ini mengungkap kelemahan serius dalam sistem pengakuan pernikahan di negara tersebut.
Kejadian ini bermula ketika Yuria Yamamoto, seorang videografer online berusia 35 tahun, ditangkap karena diduga memalsukan dokumen pernikahan dan menyerahkannya ke kantor pemerintah Kota Tomisato. Yamamoto dituduh memalsukan dokumen pribadi dan menyebabkan catatan elektronik yang salah. Kini, ia tengah menjalani proses hukum.
Di Jepang, ternyata bukan hal yang aneh jika ada pernikahan yang terdaftar tanpa sepengetahuan salah satu pihak. Seorang ahli perceraian, Mari Takahashi, yang juga pengacara dan mantan jaksa di Daini Tokyo Bar Association, mengungkapkan pernikahan seperti ini cukup sering terjadi. Biasanya, motif di balik tindakan ini berkaitan dengan usaha mengubah identitas, terutama bagi mereka yang memiliki catatan buruk seperti utang.
Baca Juga: 3 Artis Asal Cina-Jepang Dideportasi saat Tampil di Lampung
Men-doxing Korban Lewat Video
Yamamoto, yang tidak punya tempat tinggal tetap, sebelumnya sudah diperingatkan oleh polisi karena terus-menerus mengganggu korbannya. Korban yang identitasnya dirahasiakan, adalah seorang produser konten video yang dikenal Yamamoto sejak tahun 2016. Yamamoto awalnya menemukan video korban secara online, lalu menghubunginya hingga mereka saling mengenal.
Namun, hubungan mereka berubah menjadi tidak sehat. Yamamoto mulai mengirim pesan berkali-kali dan muncul di rumah korban tanpa pemberitahuan. Bahkan setelah mendapatkan peringatan dari polisi, Yamamoto tetap tidak berhenti. Ia masih meninggalkan hadiah dan surat di kotak surat korban, serta terus menekan tombol interkom rumahnya.
Pada September hingga awal Oktober 2023, Yamamoto mengirimkan pesan online setiap hari kepada korban, dengan permintaan seperti "Bisakah kita bertemu?" dan "Aku ingin bertemu denganmu sendirian." Namun, korban tidak pernah menanggapi pesan-pesan tersebut.
Yamamoto kemudian mengambil langkah lebih jauh dengan mendaftarkan pernikahan mereka di kantor pemerintah kota Tomisato pada 10 Oktober 2023. Saat seorang petugas bertanya apakah nama suami diisi "oleh pria itu sendiri," Yamamoto mengiyakan, sehingga aplikasi tersebut dianggap sah.
Korban baru mengetahui pernikahan tersebut setelah Yamamoto mengumumkan melalui video bahwa mereka telah "menikah."
Seorang perwakilan pemerintah kota menyatakan ini adalah pertama kalinya aplikasi pernikahan palsu terdeteksi di wilayah tersebut. Ia menjelaskan selama formulir diisi dengan lengkap dan tampaknya sah, mereka tidak memiliki cara untuk memverifikasi kebenarannya, termasuk tanda tangan pasangan.
"Kami menerima formulir pernikahan, pada prinsipnya, jika semua informasi yang diperlukan telah diisi," ujar perwakilan kota tersebut. "Kami tidak bisa menolak aplikasi yang sudah lengkap."
Saat ini, Yamamoto tengah menjalani persidangan di Pengadilan Distrik Chiba. Pada sidang pertama tanggal 4 Juni, Yamamoto menggunakan nama keluarga korban yang tercatat dalam catatan keluarganya. Ia juga mengakui seluruh dakwaan yang diajukan kepadanya dengan mengatakan, "Saya tidak keberatan dengan semua tuduhan yang diajukan."
Baca Juga: Pemerintah Jepang akan Hancurkan Kondominium 10 Lantai, Alasannya Halangi Pemandangan Gunung Fuji
Pembatalan Pernikahan yang Sulit
Meskipun pelaku dinyatakan bersalah, hal ini tidak secara otomatis membatalkan pernikahan yang telah didaftarkan. Menurut Mari Takahashi, diperlukan keputusan tambahan dari pengadilan untuk memperbaiki catatan pernikahan tersebut agar status hukum pernikahan resmi dapat dibatalkan. Proses ini bisa memakan waktu beberapa bulan.
Dalam kasus ini, latar belakang dan motif pelaku biasanya akan terungkap selama proses hukum, sehingga dapat mengurangi risiko terulangnya kejadian serupa.
Langkah Pencegahan bagi Laki-laki Korban Penguntitan Perempuan
Untuk mencegah kejadian serupa, Takahashi menyarankan agar warga Jepang yang merasa berpotensi menjadi korban, melakukan pencegahan dengan meminta kantor pemerintah setempat untuk memblokir setiap aplikasi pernikahan yang diajukan oleh individu tertentu. Dengan langkah ini, pemerintah akan mewajibkan kehadiran kedua belah pihak saat mendaftar, dan jika ada aplikasi yang lolos, peringatan akan dikirimkan.
"Langkah pencegahan ini akan sangat efektif dalam kasus stalking (penguntitan)," kata Takahashi.
Sumber : Asahi Shimbun
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.