Kompas TV internasional kompas dunia

Presiden Iran Ebrahim Raisi Dinyatakan Tewas, Dikenal sebagai Politikus Garis Keras dan Konservatif

Kompas.tv - 20 Mei 2024, 14:51 WIB
presiden-iran-ebrahim-raisi-dinyatakan-tewas-dikenal-sebagai-politikus-garis-keras-dan-konservatif
Presiden Iran Ebrahim Raisi saat acara peluncuran dam bersama Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, Minggu (19/5/2024). Helikopter yang dinaiki Raisi dilaporkan jatuh dalam cuaca buruk usai menghadiri acara tersebut. Raisi dinyatakan meninggal dunia pada Senin (20/5/2024). (Sumber: IRNA)
Penulis : Tussie Ayu | Editor : Vyara Lestari

Seorang kritikus terhadap kesepakatan tahun 2015 – yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) – Raisi berasal dari blok yang lebih garis keras dibandingkan Rouhani, yang dipandang sebagai seorang moderat dalam sistem politik Iran.

Baca Juga: Media Iran Sebut Presiden Ebrahim Raisi dan Menlu Hossein Amir Abdollahian Tewas: Mereka Martir

Setelah kekalahannya, Raisi mulai merencanakan kampanye presiden berikutnya. Pada bulan Juni 2021, ia memperoleh 62 persen suara. Namun, pemilu tersebut dirusak oleh rendahnya jumlah pemilih, yang hanya pencapai 48,8 persen dari total pemilih. Rendahnya partisipasi pemilu ini terjadi karena beberapa tokoh reformis dan moderat dicegah untuk mencalonkan diri.

Raisi memiliki kredibilitas yang kuat dalam lembaga keagamaan, dengan hubungan yang kuat dengan mendiang Khomeini serta dengan Khamenei, yang telah menunjuknya ke beberapa posisi senior.

Ia juga berhasil menjaga hubungan baik dengan semua cabang pemerintahan, militer dan legislatif serta kelas penguasa teokratis yang kuat.

Namun, Raisi memimpin Iran pada saat masyarakat marah atas memburuknya standar hidup. Dia dikritik karena memprioritas pertahanan dibandingkan masalah-masalah dalam negeri.

Pada akhir tahun 2022, kemarahan publik meletus atas kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi moral Iran. Gadis berusia 22 tahun tersebut ditangkap ketika meninggalkan stasiun metro di Teheran bersama anggota keluarganya karena dugaan ketidakpatuhan terhadap aturan wajib jilbab. 

Protes mengguncang Iran selama berbulan-bulan, dan para perempuan melepas atau membakar jilbab mereka dan memotong rambut mereka sebagai bentuk protes.

Unjuk rasa tersebut berakhir pada pertengahan tahun 2023 setelah sekitar 500 orang terbunuh ketika pasukan keamanan bergerak untuk membubarkan protes tersebut, menurut organisasi hak asasi manusia asing. Tujuh orang dieksekusi karena peran mereka dalam kerusuhan tersebut.

Misi pencari fakta PBB menyimpulkan pada bulan Maret tahun ini bahwa Iran melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam tindakan keras tersebut, termasuk pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan.


 



Sumber : Al Jazeera



BERITA LAINNYA



Close Ads x