GAZA, KOMPAS.TV - Pemerintah Israel telah menolak proposal gencatan senjata yang diusulkan Mesir dan Qatar dan disepakati Hamas.
Kalangan pakar menilai langkah tersebut membuktikan Israel tidak menginginkan gencatan senjata dan menghendaki berlanjutnya operasi militer di Jalur Gaza.
Militer Israel meluncurkan serangan darat ke sisi timur Rafah di selatan Jalur Gaza, saat Hamas mengumumkan menyepakati gencatan senjata pada awal pekan ini.
Pasukan Israel pun menutup titik penyeberangan Rafah-Mesir dan menaruh unit tank sekitar 200 meter dari perbatasan.
Pakar Israel-Palestina di lembaga Middle East Institute, Khaled Elgindy, menilai pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu butuh perang untuk tetap berkuasa.
Menurutnya, penerimaan Hamas atas proposal gencatan senjata membuat PM Israel itu dalam posisi canggung.
"Netanyahu butuh perang ini berlanjut dan diperluas agar dia tetap berkuasa. Secara pribadi, dia tidak punya insentif apa pun," kata Elgindy, seperti dilansir Al Jazeera, Selasa (7/5/2024).
Baca Juga: Israel Gempur Rafah yang Dipadati 1,5 Juta Penduduk, MSF: Bisa Berubah Jadi Kuburan
Apabila Netanyahu menyepakati gencatan senjata untuk pembebasan tawanan, koalisi ekstrem kanan yang mendukungnya disebut terancam bubar.
Karier politik Netanyahu pun berpeluang di ujung tanduk tanpa sokongan koalisi.
Dua tokoh penting di kabinet Netanyahu, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dilaporkan berulang kali mengancam keluar dari koalisi jika Netanyahu menyepakati gencatan senjata.
Pakar Israel-Palestina di lembaga European Council for Foreign Relations (ECFR), Hugh Lovatt, menyebut kabinet Netanyahu terancam kehilangan dukungan masyarakat Israel jika berdamai dengan kelompok perlawanan Palestina, Hamas.
Pemerintah Israel pun disebutnya berupaya memenangi dukungan publik dengan menginvasi Rafah.
"Kelihatannya terlalu sulit bagi pemerintah Israel untuk menerima proposal yang dipandang (oleh publik Israel) menguntungkan Hamas," kata Lovatt.
"Dengan memasuki Rafah, Israel dapat dipandang telah menyatakan, kami telah menguasai koridor, kami telah mencabut infrastruktur teroris dan kita sekarang bisa menyepakati gencatan senjata."
Pemerintah Israel sendiri beralasan proposal gencatan senjata yang disepakati Hamas berbeda dari proposal-proposal sebelumnya.
Namun, kalangan analis menilai Israel tidak menghendaki gencatan senjata permanen, bahkan jika Hamas membebaskan para tawanan.
"Beberapa hari belakangan telah membuktikan bahwa Israel tidak berunding dengan niat baik. Pada saat Hamas mencapai kesepakatan, Israel menghancurkannya dengan memulai serangan ke Rafah," kata pakar Israel-Palestina di lembaga Middle East Council for Global Affairs, Omar Rahman.
"Tujuan mereka adalah menghancurkan Gaza secara total."
Menurut data terkini Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, Israel telah membunuh lebih dari 34.789 orang di Jalur Gaza, lebih dari setengahnya adalah perempuan dan anak-anak.
Lebih dari 78.204 orang juga terluka di Jalur Gaza. Sedangkan 8.000 orang lebih dinyatakan hilang, diduga tertimbun reruntuhan.
Korban jiwa berkemungkinan besar akan terus bertambah seiring agresi Israel yang masih berlangsung.
Baca Juga: Hamas Kecam Serangan Israel ke Rafah: Rakyat Palestina di Gaza Jadi Sasaran Perang Pemusnahan
Sumber : Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.