BEIJING, KOMPAS.TV - Pemerintah China mengeluarkan larangan impor produk makanan, terutama makanan laut, dari Jepang pada Jumat (7/72023). Hal itu dilakukan karena Jepang tetap melanjutkan rencananya untuk melepaskan limbah air bekas nuklir ke laut.
Mengutip dari Antara (7/7), Administrasi Umum Kepabeanan China (GAC) melarang pembelian makanan dari 10 wilayah di Jepang termasuk Fukushima.
Surat kabar Global Times melaporkan, langkah tersebut bertujuan untuk mencegah impor "makanan terkontaminasi radioaktif" dari Jepang dan memastikan keamanan makanan impor bagi konsumen China.
Larangan itu dikeluarkan setelah Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mengatakan pelepasan air yang diolah oleh Jepang dari pembangkit listrik Fukushima yang rusak akan memiliki dampak "yang dapat diabaikan" baik bagi manusia maupun lingkungan.
Untuk makanan dari wilayah lain di Jepang, terutama produk akuatik, GAC akan meninjau secara ketat dokumen sertifikasi, meningkatkan pengawasan, menerapkan inspeksi sepenuhnya dengan ketat, dan terus meningkatkan pemantauan bahan radioaktif.
Sementara di Korea Selatan, terjadi panic buying di mana warga memborong garam di toko-toko, karena semakin mengkhawatirkan keselamatan mereka.
Baca Juga: Xi Jinping Ancam Putin Tak Gunakan Senjata Nuklir di Ukraina, Akhirnya Kremlin Buka Suara
Jepang diperkirakan akan mulai membuang sekitar satu juta metrik ton air radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir yang rusak ke laut, pada bulan Juli ini.
Air tersebut digunakan untuk mendinginkan reaktor yang rusak pada pembangkit listrik Fukushima di utara Tokyo setelah diguncang gempa bumi dan tsunami pada 2011.
Jepang berulang kali memberikan jaminan bahwa air tersebut aman dan telah disaring demi menghilangkan sebagian besar isotop. Walaupun air tersebut tetap mengandung jejak tritium yang merupakan isotop hidrogen yang sulit dipisahkan dari air.
Namun, jaminan ini tak memupus kekhawatiran nelayan dan warga Jepang serta negara tetangga.
"Saya baru saja membeli lima kilogram garam," kata Lee Young-min, ibu dua anak berusia 38 tahun, sewaktu memasak sup rumput laut di dapurnya di Seongnam, tepat di selatan ibu kota Korea Selatan, Seoul.
Dia mengaku belum pernah membeli begitu banyak garam tetapi sekarang merasa perlu mengambil langkah itu demi melindungi keluarganya.
Baca Juga: Jepang Bakal Buang Air Tercemar Nuklir ke Laut, Warga Korsel Panik, Langsung Borong Garam
"Sebagai ibu yang membesarkan dua anak, saya tidak bisa dia mematung dan tidak berbuat apa-apa. Saya ingin memberi mereka makan dengan aman," tambahnya.
Selain garam, warga juga menimbun produk hasil laut lainnya. Alhasil, harga barang-barang tersebut. Harga garam di Korea Selatan pada Juni melonjak hampir 27 persen dibandingkan dengan harga dua bulan lalu, meski pemerintah Korsel mengatakan cuaca dan produksi yang lebih rendah juga menjadi penyebabnya.
Wakil Menteri Perikanan Song Sang-keun mengatakan, pemerintah Korsel melepaskan stok garam sekitar 50 metrik ton sehari, dengan diskon 20 persen dari harga pasar.
Otoritas perikanan Korea Selatan menyatakan akan terus mengawasi peningkatan radioaktivitas di ladang garam. Korea Selatan juga melarang makanan laut dari perairan dekat Fukushima di pantai timur Jepang.
"Saya datang untuk membeli garam tapi sudah habis," kata Kim Myung-ok (73), berdiri di rak supermarket yang kosong.
"Pembuangan air radioaktif itu mengkhawatirkan. Kami memang sudah tua dan sudah cukup untuk hidup, tapi saya mengkhawatirkan masa depan anak-anak," tambah dia.
Baca Juga: Ucapan Megawati Disorot Media China, Yakin Indonesia Bisa Susul Program Nuklir Korea Utara
Penolakan juga datang dari warga Jepang sendiri. Sejumlah warga Jepang berunjuk rasa menolak rencana pembuangan air limbah nuklir Fukushima ke laut beberapa hari lalu.
"Gunung dan sungai tidak akan pernah kembali seperti dulu, dan radiasinya tidak akan hilang dengan mudah. Namun, dibandingkan dengan kehidupan dan cinta, negara ini mengutamakan meraup uang!" kata Tatsuko Okawara dari Kota Tamura, Prefektur Fukushima.
Ia menolak rencana pemerintah untuk membuang air yang terkontaminasi nuklir ke laut.
Tokyo Electric Power Company (TEPCO), operator PLTN tersebut, mulai menguji peralatan untuk pembuangan air yang terkontaminasi nuklir ke Samudra Pasifik pada 12 Juni.
Uji coba fasilitas pembuangan itu diperkirakan rampung pada 26 Juni mendatang. Rencana pembuangan air limbah nuklir oleh pemerintah Jepang tampaknya telah memasuki hitung mundur.
Chiyo Oda, seorang penyelenggara aksi protes dan wakil dari kelompok sipil "Hentikan Mencemari Laut" (Stop Polluting the Sea), mengatakan Pemerintah setiap hari menyebutkan operasi uji coba akan segera berakhir.
Baca Juga: Kisruh Konser Blackpink di Vietnam, Gegara Pakai Peta China untuk Klaim Laut China Selatan
"Ini membuat semua orang merasa bahwa pembuangan air limbah ke laut itu merupakan sebuah fakta yang sudah pasti, dan ingin kita menyerah," sebutnya.
"Tapi membuang air yang terkontaminasi nuklir ke laut sangatlah keliru, dan masih ada tempat untuk tangki penyimpanan air, jadi ini belum mencapai titik di mana harus dibuang (ke laut)," sambungnya.
Masuko Eiichi dari Kota Koriyama di Prefektur Fukushima, juga mengkritik rencana pembuangan itu pada aksi tersebut, mengatakan, "Tangki penyimpanan untuk air yang terkontaminasi nuklir ini dapat disimpan untuk waktu yang lama selama pemerintah dan TEPCO menginginkannya. Tapi mereka telah memilih cara termurah untuk mengatasinya dengan membuang air limbah ke laut."
Mengenai pemerintah yang menyebut air terkontaminasi nuklir yang diencerkan sebagai "air olahan", Sakurai dari Prefektur Niigata mengatakan bahwa itu merupakan upaya untuk membingungkan publik.
Eiichi menjelaskan bahwa air yang terkontaminasi nuklir dapat diencerkan, tetapi jumlah total polutan nuklir yang dibuang tetap tidak berubah.
"Selain itu, di dalam air limbah itu tidak hanya terdapat unsur radioaktif tritium, tetapi juga 57 jenis zat radioaktif seperti sesium dan stronsium yang tidak dapat dihilangkan," tambah Eiichi.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.