Kompas TV internasional kompas dunia

Kasus Covid-19 di China Melonjak, Obat Flu dan Pilek di Jepang, Singapura, Hong Kong Langka Diborong

Kompas.tv - 30 Desember 2022, 23:55 WIB
kasus-covid-19-di-china-melonjak-obat-flu-dan-pilek-di-jepang-singapura-hong-kong-langka-diborong
Lonjakan infeksi virus corona di China menyebabkan hilangnya obat-obatan utama seperti obat demam di seluruh wilayah termasuk Jepang, Singapura, dan Hong Kong karena kerabat dan teman yang tinggal di luar negeri mengirimkan obat penghilang rasa sakit dan antivirus dari luar negeri, menaikkan harga dan memaksa beberapa toko untuk membatasi pembelian. (Sumber: Straits Times)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Vyara Lestari

BEIJING, KOMPAS.TV – Lonjakan infeksi virus corona di China menyebabkan hilangnya obat-obatan utama seperti obat demam di seluruh wilayah termasuk Jepang, Singapura, dan Hong Kong. Pasalnya, kerabat dan teman penderita Covid-19 di China yang tinggal di luar negeri mengirimkan obat penghilang rasa sakit dan antivirus dari luar negeri, hingga menaikkan harga dan memaksa beberapa toko membatasi pembelian.

Seperti laporan Bloomberg, Jumat (30/12/2022), Kementerian Kesehatan Korea Selatan pada Rabu (28/12) memberi peringatan mereka akan menghukum penjualan obat flu "dalam jumlah berlebihan" kepada seorang pasien. Peringatan ini dilontarkan setelah media lokal melaporkan seorang pelanggan China membeli obat flu senilai 6 juta won atau sekitar Rp74 juta di Kota Hanam di Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan.

Beberapa apotek di Taiwan kehabisan tablet pilek dan flu Panadol, sementara Bloomberg News mengunjungi 20 apotek di Hong Kong yang kehabisan pil Panadol dan Coltalin.

Keputusan Beijing untuk secara tiba-tiba menghapus sebagian besar pembatasan pandemi dengan sedikit persiapan mendorong lonjakan hebat jumlah kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya, hingga membuat rumah sakit dan rumah duka kewalahan.

Hampir 37 juta orang kemungkinan terinfeksi Covid-19 dalam satu hari pekan lalu di China, menurut perkiraan dari otoritas kesehatan tertinggi pemerintah. Hal itu menyebabkan kelangkaan obat-obatan yang dijual bebas secara lokal yang kemudian memicu lonjakan pengiriman lintas batas.

Shen Tsai-Ying, seorang apoteker di Taipei, mengatakan kepada Bloomberg News bahwa stok Panadol mereka habis dan staf diperintahkan menolak penjualan lebih dari 80 pil antipiretik untuk membantu mencegah penimbunan obat.

"Kami khawatir warga Taiwan yang bekerja di China atau memiliki pasangan China akan menimbun dan mengirim antipiretik (ke China)," Huang Chin Shun, ketua Asosiasi Apoteker Taiwan, mengatakan dalam sebuah wawancara pada hari Kamis.

Baca Juga: Inggris Respons China Perbolehkan Warganya ke Luar Negeri saat Wabah Covid-19: Peninjauan Dilakukan

Lonjakan infeksi virus corona di China menyebabkan hilangnya obat-obatan utama seperti obat demam di seluruh wilayah termasuk Jepang, Singapura, dan Hong Kong karena kerabat dan teman yang tinggal di luar negeri mengirimkan obat penghilang rasa sakit dan antivirus dari luar negeri, menaikkan harga dan memaksa beberapa toko untuk membatasi pembelian. (Sumber: Straits Times)

Ibuprofen, parasetamol, dan Paxlovid Pfizer adalah obat-obatan yang paling banyak dicari di China, tetapi krisis pasokan memaksa penduduk mengantri berjam-jam di luar toko.

Aplikasi pengiriman mengatakan pesanan bisa memakan waktu berminggu-minggu untuk tiba. Platform e-niaga Meituan mengatakan penyedia layanan obatnya, mulai Kamis, akan menyertakan opsi bagi apotek untuk membantu mereka menjual parasetamol dan ibuprofen dalam lot yang lebih kecil.

Sama seperti apotek Taipei, gerai lain di kawasan ini seperti supermarket Singapura FairPrice dan rantai apotek Hong Kong Watsons dan Mannings menanggapi belanja besar-besaran dengan memberlakukan batasan pembelian untuk Panadol dan Nurofen.

Beberapa apotek di Jepang mengikuti langkah tersebut menurut warga Tokyo berusia 27 tahun, Yichun Geng. Dia bilang dia hanya bisa membeli dua kotak tablet ibuprofen EVE di satu outlet untuk dikirim ke keluarga di China.

Taisho Pharmaceutical Holdings yang berbasis di Tokyo, yang membuat obat flu Pabron yang dijual bebas, mengatakan mereka mengalami "peningkatan permintaan yang tak terduga dan tiba-tiba" setelah postingan media sosial China yang spekulatif mengatakan obat tersebut meredakan gejala Covid-19.

Taisho hari Kamis (30/12) mengatakan tidak ada OTC atau obat dijual bebas over the counter , termasuk miliknya sendiri, yang diketahui efektif melawan Covid-19, dan menyarankan pelanggan untuk berhati-hati.

Baca Juga: Belum Ikuti Jejak Italia, Uni Eropa Tak Wajibkan Tes Covid pada Pendatang dari China

Lonjakan infeksi virus corona di China menyebabkan hilangnya obat-obatan utama seperti obat demam di seluruh wilayah termasuk Jepang, Singapura, dan Hong Kong karena kerabat dan teman yang tinggal di luar negeri mengirimkan obat penghilang rasa sakit dan antivirus dari luar negeri, menaikkan harga dan memaksa beberapa toko untuk membatasi pembelian. (Sumber: Straits Times)

Asahi Shimbun melaporkan peningkatan permintaan obat flu menghasilkan kosongnya rak-rak toko obat di Jepang.

Bagi mereka yang cukup beruntung untuk mendapatkan persediaan yang semakin menipis, logistik terbukti menjadi rintangan.

Courier ShunXing Logistics di Singapura membatasi jumlah barang medis terkait Covid-19 yang dapat dikirim seseorang karena “kekurangan tenaga kerja dan kepadatan”, demikian diumumkan dalam postingan WeChat minggu lalu. Beberapa cabang mengizinkan maksimal 50 pelanggan per hari untuk mengirim parsel yang berisi obat-obatan Covid-19.

Ledakan itu juga berarti rejeki nomplok bagi beberapa kurir dan calo, dengan beberapa mengenakan biaya hingga 10 kali lipat harga eceran obat-obatan.

Wang, pialang energi Tiongkok yang berbasis di Singapura yang tidak ingin mengungkapkan nama lengkapnya karena kepekaan di Tiongkok, mengatakan seorang siswa di aplikasi e-niaga Xiaohongshu, atau Buku Merah Kecil, menawarkan untuk mengantarkan Panadol ke provinsi Shandong ketika liburan, tetapi dengan biaya S$40 ditambah biaya obat S$7-S$10 per kotak.

Baca Juga: Kasus Covid-19 di China Mencurigakan, Dunia Mulai Khawatir, Beijing Kembali Dituding Tak Transparan

Lonjakan infeksi virus corona di China menyebabkan hilangnya obat-obatan utama seperti obat demam di seluruh wilayah termasuk Jepang, Singapura, dan Hong Kong karena kerabat dan teman yang tinggal di luar negeri mengirimkan obat penghilang rasa sakit dan antivirus dari luar negeri, menaikkan harga dan memaksa beberapa toko untuk membatasi pembelian. (Sumber: France24)

Penduduk Singapura lainnya, yang mengidentifikasi dirinya sebagai Xu, mengatakan pamannya di Shanghai menghabiskan lebih dari 1.000 yuan atau Rp2,2 juta untuk "pembelian massal obat-obatan yang tidak berguna" dalam kesepakatan yang mencakup sekotak tablet Nurofen yang vital. “Ada permintaan tinggi dan pasokan rendah, jadi toko-toko ini berpikir untuk menghasilkan uang,” tambahnya.

Di Hong Kong, staf di apotek Mannings memasang tanda di bawah rak kosong bertuliskan "pertahankan harga tetap rendah", di samping pemberitahuan yang memberi tahu pelanggan bahwa penjualan produk pereda demam, flu, dan nyeri akan dibatasi hingga dua unit per merek dalam satu transaksi karena "lonjakan permintaan yang tiba-tiba". Watsons membatasi pembelian Panadol sebanyak enam kotak.

Seorang pegawai toko di apotek di Mong Kok Hong Kong mengatakan dia melihat harga tablet Pilek dan Flu Panadol, yang biasanya dijual sekitar HK$58 hingga HK$71, melonjak hingga setinggi HK$400 per bungkus.

Media milik negara Wen Wei Po melaporkan pada hari Jumat bahwa salah satu apotek menaikkan harga Molnupiravir, antivirus Covid-19, dari HK$1.800 menjadi HK$2.500 dalam dua hari.

Harga tinggi dan waktu tunggu yang lama tidak menghalangi mereka yang ingin keluar dari gelombang, yang diprediksi oleh Komisi Kesehatan Nasional China akan mencapai puncaknya selama Januari.

"Saya khawatir. Ada orang tua di rumah, kakek dan nenek saya,” kata Zhang, warga Singapura yang mengirim tiga kotak Panadol ke keluarganya di Anhui. “Bagus untuk dipersiapkan. Mereka masih bisa menggunakannya di masa depan."


 

 

 



Sumber : Kompas TV/Bloomberg



BERITA LAINNYA



Close Ads x