Al-Sadr enggan berunding dengan lawan-lawan politiknya. Peristiwa mundurnya ia dari politik pun memelantingkan Irak ke dalam ketidakpastian politis.
Melansir Associated Press, ketika Saddam Hussein, seorang Sunni, memerintah Irak selama berdekade-dekade, populasi Syiah Irak mengalami diskriminasi.
Muslim Syiah sendiri merupakan mayoritas di Irak, hampir dua pertiga dari total populasi. Sedangkan jumlah umat Sunni sekitar sepertiga dari total populasi.
Saddam Hussein digulingkan lewat invasi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) pada 2003 silam. Pendudukan AS pun mengubah tatanan politik Irak, gerakan politik Syiah naik ke tampuk kekuasaan.
Chaos in the Green Zone right now. pic.twitter.com/19yE91FpIh
— Jake Hanrahan (@Jake_Hanrahan) August 30, 2022
Akan tetapi, kini, berbagai kalangan politik Syiah berselisih. Syiah Irak terpecah antara mereka yang disokong Iran dan pihak yang menganggap diri nasonalis Irak.
Mereka berebut kekuasaan, pengaruh, dan sumber daya alam negara.
Rivalitas politik nasionalis Syiah dan elemen pro-Iran di Irak dikhawatirkan bisa memicu kekerasan sewaktu-waktu. Irak dan Iran sendiri berperang pada 1980-an dan menewaskan satu juta orang.
Muqtada Al-Sadr sendiri dikenal mengusung retorika nasionalis dan agenda reformasi yang diyakini secara teguh oleh para pendukungnya.
Mayoritas pendukung Al-Sadr diketahui berasal dari sektor termiskin masyarakat Irak, secara historis dikesampingkan dari sistem politik pada rezim Saddam Hussein.
Pada Selasa (30/8), situasi Baghdad dilaporkan telah berangsur tenang usai Al-Sadr meminta pendukungnya menarik diri. Ia pun minta maaf atas kekerasan yang terjadi.
Baca Juga: Geger Politik Tewaskan 15 Orang, Ulama Irak Protes dengan Mogok Makan
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.