JAKARTA, KOMPAS.TV – Pada 1 Agustus 2022, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan terbunuhnya pemimpin Al Qaeda, Ayman Al Zawahiri, dalam sebuah serangan drone yang dilancarkan CIA ke Kabul, Afghanistan.
“Keadilan telah diwujudkan dan pemimpin teroris ini tidak ada lagi,” kata Biden dalam sebuah pidato di luar Gedung Putih.
Biden mengatakan, seperti dikutip dari CNN, Zawahiri sedang berada di pusat kota Kabul untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, ketika serangan dilancarkan.
Pria Mesir yang baru saja genap berusia 71 tahun itu terbunuh dalam serangan drone yang menggunakan dua rudal Hellfire, menurut seorang pejabat senior AS.
Taliban yang kini menguasai Afghanistan, melalui juru bicaranya, Zabihullah Mujahid, mengatakan dalam serangkaian cuitan, “Sebuah serangan udara dilancarkan ke sebuah rumah di daerah Sherpur, Kabul pada 31 Juli.”
Baca Juga: Kronologi Tewasnya Ayman al-Zawahiri, Bos Al Qaeda yang Dituding Pembunuh Ribuan Umat Islam
Pemerintah Afghanistan di bawah Taliban yang menyebut diri sebagai Emirat Islam Afghanistan, mengutuk serangan tersebut.
Mujahid mengatakan pihaknya “mengecam keras serangan ini dengan alasan apapun dan menyebutnya sebagai pelanggaran yang jelas terhadap prinsip-prinsip internasional dan Kesepakatan Doha.”
Zawahiri disebut membantu merencanakan serangan-serangan 11 September 2001 di AS yang menewaskan hampir 3.000 orang.
“Meski demikian, pembunuhannya sekitar 21 tahun kemudian, membutuhkan pembenaran hukum di bawah hukum internasional,” ujar Craig Martin, profesor hukum di Washburn University School of Law, Kansas, AS, dalam sebuah tulisan di laman Just Security.
Di samping itu, Martin berpendapat, serangan drone pada 31 Juli tersebut merupakan penggunaan kekuatan (use of force) terhadap Afghanistan, negara yang tidak sedang terlibat konflik bersenjata dengan AS.
“Ini juga membutuhkan pembenaran hukum,” tulisnya.
Martin menggarisbawahi penggunaan kekuatan mematikan (use of lethal force) terhadap seorang individu.
Menurutnya, agar sebuah penggunaan kekuatan yang mematikan tidak menjadi pembunuhan atau pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing), mesti ada dasar hukumnya.
Hukum humaniter internasional, kata Martin, mengizinkan atau setidaknya memberikan imunitas, atas penggunaan kekuatan mematikan terhadap individu-individu tertentu yang terlibat dalam konflik bersenjata.
Kombatan, kata dia, dapat menjadi target serangan atas dasar status mereka.
“Al Zawahiri tidak termasuk kombatan sesuai dengan kriteria-kriteria kombatan dalam sebuah konflik bersenjata internasional.”
“Dia hanya dapat ditargetkan jika, dan saat dia terlibat langsung dalam permusuhan.”
Martin mengungkapkan, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mendukung pandangan yang berpendapat bahwa dalam beberapa kondisi, anggota kelompok bersenjata dalam suatu konflik bersenjata non-internasional, dapat dipandang terlibat dalam “fungsi pertempuran secara terus-menerus.”
Sehingga, membuatnya dapat menjadi target.
“Tapi perlu dicatat bahwa ini menargetkan atas dasar fungsi, dan hanya untuk waktu saat mereka terus memegang fungsi ini,” kata Martin.
Baca Juga: AS Tembak Rudal Pemimpin Al Qaeda Secara Presisi, Intelijen Berperan Vital
Meski demikian, sambungnya, harus ada bukti solid yang menunjukkan Zawahiri terlibat langsung dalam permusuhan, atau dia masih terlibat dalam fungsi pertempuran.
Martin mengatakan, jika tidak ada konflik bersenjata dan operasi hukum humaniter internasional, maka yang berlaku adalah hukum pidana AS dan undang-undang hak asasi manusia (HAM) internasional.
Standar penggunaan kekuatan mematikan, baik sebagai pembenaran untuk melanggar hak untuk hidup di bawah undang-undang HAM maupun sebagai pembelaan atas tuduhan pembunuhan di bawah hukum pidana AS, membutuhkan bukti-bukti yang kuat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.