LONDON, KOMPAS.TV – Sosok Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis (7/7/2022), bukanlah sosok biasa. Sejak lama, ia disebut telah menentang aturan dan norma politik yang berlaku.
Melansir BBC, skandal yang jika menerpa politikus lain disebut bakal menenggelamkan karier, pada Johnson justru tak berefek. Ia selalu bisa kembali bangkit usai diterpa skandal. Blunder dan kesalahan yang dibuatnya justru jadi merek karakternya.
Rambut pirangnya yang selalu tampak berantakan seperti tak kenal sisir, juga kepribadiannya yang kikuk, membuatnya gampang dikenali, bahkan oleh mereka yang tak tertarik dunia politik. Imej sebagai sosok yang bersemangat, membantunya mendulang suara dibandingkan dengan sosok konvensional dari Partai Konservatif.
Boris Johnson sempat menjabat sebagai Wali Kota London, yang jadi basis Partai Buruh, selama dua periode. Ia juga berhasil meyakinkan jutaan warga Inggris untuk mendukung Brexit pada referendum Uni Eropa 2016 silam.
Baca Juga: PM Inggris Boris Johnson Mengundurkan Diri, Jadwal Pemilihan PM Baru akan Diumumkan Pekan Depan
Pada Juli 2019, Boris Johnson jadi perdana menteri tanpa pemilihan, tetapi empat bulan kemudian berhasil mendapat kemenangan telak. Ia mendulang suara di lokasi-lokasi yang sebelumnya tak pernah memberi suara pada Partai Konservatif sebelumnya.
Pada awal 2020, dominasinya dalam politik Inggris tampaknya telah lengkap. Tetapi virus Corona datang menghampiri.
Jelas, pandemi global akan menguji pemimpin mana pun. Pemerintahan Johnson pun membuat sejumlah kesalahan, dan pada satu titik, Inggris jadi negara dengan tingkat kematian Covid-19 tertinggi di kalangan negara maju.
Namun, pada akhirnya, aksinya menangani pandemi Covid-19 bukanlah yang memicu kejatuhannya. Melainkan, lebih pada karakter dan kelayakannya sebagai pemimpin Inggris.
Para pengamat yang lama mengamati sepak terjang karier Johnson, ini bukan kejutan.
Mengutip The Observer, mantan bos Johnson di Daily Telegraph, Sir Max Hastings memprediksi bahwa Johnson selama menjabat sebagai perdana menteri “dipastikan bakal mengungkap penghinaan terhadap aturan, preseden, ketertiban, dan stabilitas”.
Sejak usia muda, Alexander Boris de Pfeffel Johnson punya kecenderungan meyakini bahwa aturan diciptakan untuk orang lain, dan bukan dirinya.
“Saya pikir dia dengan jujur percaya bahwa kita tidak sopan bila tidak menganggapnya sebagai pengecualian, orang yang harus bebas dari kewajiban yang mengikat orang lain,” tutur Martin Hammond sang guru saat Boris Johnson berusia 17 tahun.
Namun, kepercayaan dirinya yang tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam.
“Kharisma Boris saat itu sangat lucu, hangat, menawan, mencela diri sendiri,” ungkap Simon Veksner, seorang teman sekolah Johnson.
Johnson kemudian mendapat beasiswa ke Eton, salah satu sekolah swasta paling prestisius di Inggris. Setelahnya, ia masuk ke Oxford University, dan mencapai ambisinya menjadi presiden serikat. Komunitas ini sejak lama menjadi semacam kawah candradimuka bagi para politikus Konservatif.
Johnson juga bergabung dalam Klub Bullingdon yang kondang dengan perilaku mabuk dan gaduh para anggotanya, termasuk calon perdana menteri David Cameron.
Selepas Oxford, Johnson bekerja sebagai reporter muda di harian The Times. Namun, ia kehilangan pekerjaannya setelah memalsukan sebuah kutipan.
Pada 1988, ia diberi pekerjaan oleh Max Hastings yang ketika itu menjadi editor Daily Telegraph.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.