KABUL, KOMPAS.TV — Ini adalah kisah tentang mereka yang masih hidup dan mereka yang sudah mati bisa berdampingan di negeri yang tidak biasa, Afghanistan, seperti laporan Associated Press, Selasa, (31/5/2022).
Salah satu makam tampak terbuka lebar di Pemakaman Nader Shah Hill Kabul, memperlihatkan kerangka yang tulang belulang serta tengkorak hampir utuh di dasar liang kubur tanah yang keras.
Di sekitar makam, seorang anak laki-laki terlihat ceria di dekat liang kubur menganga itu, cuek bermain dan tidak terkesan takut.
“Ada banyak kuburan yang hancur, itu bukan hal yang tidak biasa,” kata seorang anak laki-laki berusia 10 tahun, berkata sambil mengangkat bahu ketika mereka melihat ke bawah ke tulang-tulang itu bersama Associated Press.
Satu-satunya alasan anak-anak itu datang, mengganggu pertandingan sepak bola mereka, adalah untuk melihat apa yang sedang dipotret oleh seorang fotografer Associated Press.
Ketika ditanya apakah mereka takut dengan makam-makam terbuka lebar dan tulang-belulang di dalamnya, bocah itu dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa kita harus takut? Tengkorak tidak hidup,” katanya. “Kami melihat ini setiap hari.” Itu tidak lebih mengejutkan daripada kalajengking yang dipamerkan anak lain merangkak di lengan bajunya.
Baca Juga: Taliban Paksa Presenter TV Perempuan Afghanistan Tutupi Muka saat Siaran, Para Pria Protes
Banyak pemakaman di seluruh ibu kota Afghanistan, Kabul, banyak di antaranya dipenuhi dengan orang mati akibat perang selama beberapa dekade di negara itu. Mereka masuk dengan santai ke dalam kehidupan dan keseharian rakyat Afghanistan.
Pemakaman-pemakaman itu menyediakan ruang terbuka di mana anak-anak bermain sepak bola atau kriket atau menerbangkan layang-layang, menjadi tempat orang dewasa berkumpul, merokok, mengobrol, bersantai dan bercanda karena hanya ada sedikit taman umum.
Sekitar 50 tahun perang mengubah wajah dan seluruh sendi Kabul, rumah bagi 5 juta orang.
Banyak pemakaman tersebar di lereng pegunungan tandus yang menjulang di tengah kota. Pemakaman lainnya dekat dengan lingkungan kelas atas atau di sepanjang sisi jalan.
Selama perang saudara yang kejam tahun 1990-an, banyak faksi yang memperebutkan kekuasaan membombardir Kabul, menewaskan ribuan orang, dan warga sering menguburkan orang mati mereka tepat di sebelah rumah mereka karena mereka takut pergi jauh.
Seiring waktu, penguburan individu itu berkembang menjadi pemakaman, menyatu dengan lingkungan dan dengan kehidupan sehari-hari penduduk.
Baca Juga: Korban Tewas Serangan Bom di Masjid Kabul saat Salat Jumat Bertambah Jadi 50 Orang
Warga mungkin berkumpul merayakan pernikahan sementara tidak jauh pelayat berkumpul untuk memakamkan jenazah anggota keluarganya.
“Saya lahir di sini, dan saya selalu melihat kuburan,” kata Habib, 14 tahun, sedang bermain sepak bola dengan teman-temannya di antara makam di pemakaman Nader Shah Hill.
Banyak dari mereka yang dimakamkan di sini meninggal dalam hampir satu dekade pertempuran melawan pendudukan Soviet pada 1980-an.
Kuburan tua di tempat itu jarang dirawat, sehingga sering kali tanah gua di dalam atau kuburan beton retak terbuka.
Bagi orang-orang miskin di Kabul, kuburan bisa menjadi sumber pendapatan.
Arefeh, 27, tinggal bersama keempat anaknya di sebelah kuburan Sakhi, yang digunakan oleh minoritas Syiah di kota itu.
Baca Juga: PBB Desak Taliban Hentikan Diskriminasi Perempuan di Afghanistan dari Pendidikan hingga Hijab
Dia dan anak-anaknya menghasilkan sedikit uang dengan menjual air kepada orang yang lewat dan dengan mencuci kuburan. Seperti banyak orang Afghanistan, dia hanya menggunakan satu nama.
Pemakaman Shuhada-e Saliheen, atau “Syuhada yang Saleh", berguling menuruni lereng bukit di Kabul selatan, menjadi salah satu pemakaman terbesar di kota.
Fahim lahir di sebelah kuburan 54 tahun yang lalu dan dibesarkan di sana, bermain di antara kuburan keluarganya. Ayah dan kakeknya dimakamkan di dekatnya. Sekarang anak-anaknya, juga lahir di sini, bermain di kuburan.
Dia mengatakan khawatir bagaimana efeknya pada anak-anaknya, “Anak-anak tumbuh dengan melihat jasad orang yang sudah mati. Kematian makin sudah menjadi hal biasa bagi mereka,” katanya.
“Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus melanjutkan hidup ini.” kata Fahim dengan mata nanar.
Hamed, 18 tahun, juga lahir di dekatnya. “Pada hari-hari awal, saya akan takut ketika saya pergi ke kuburan. Namun lama kelamaan menjadi biasa saja.” Sekarang Hamed bekerja sebagai penggali kubur.
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.