KOLOMBO, KOMPAS.TV — Ekonomi Sri Lanka runtuh seruntuh-runtuhnya pada krisis terburuk sejak negara itu merdeka dari Inggris, mendorong negara itu terjun bebas ke dalam krisis politik yang runyam, seperti dilansir Associated Press, Rabu, (11/5/2022)
Sri Lanka saat ini sungguh kepayahan mengimpor kebutuhan dasar bagi 22 juta penduduknya karena kosongnya cadangan devisa dan utang luar negeri yang menumpuk, memicu protes anti-pemerintah selama berminggu-minggu yang baru-baru ini berubah menjadi kekerasan dan menyebabkan pengunduran diri perdana menteri Mahinda Rajapaksa.
Sebagian besar kemarahan publik mengarah pada Presiden Gotabaya Rajapaksa dan saudaranya, mantan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, yang disalahkan karena dianggap menendang negara itu ke dalam krisis ekonomi.
Baca Juga: Situasi Memanas, Sri Lanka Perintahkan Tembak di Tempat bagi Demonstran yang Merusuh
Apa Sebab Protes Berminggu-minggu?
Selama berbulan-bulan, warga Sri Lanka harus mengular dalam antrean panjang untuk membeli barang-barang penting karena krisis valuta asing menyebabkan kekurangan makanan impor, obat-obatan dan bahan bakar. Kekurangan minyak juga menyebabkan pemadaman listrik besar-besaran yang berkepanjangan.
Pandemi Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina membuat keadaan Sri Lanka semakin runyam, namun lonceng peringatan akan potensi bencana ekonomi sebenarnya sudah berdentam jauh sebelumnya.
Tahun 2019, Presiden Rajapaksa meraih kekuasaan beberapa bulan setelah bom bunuh diri Paskah di gereja dan hotel yang menewaskan 290 orang.
Serangan itu merusak pariwisata, sumber utama devisa, dan Rajapaksa berjanji untuk menarik Sri Lanka keluar dari keterpurukan ekonomi yang dalam dan menjaganya tetap aman.
Pemerintah Sri Lanka perlu meningkatkan pendapatan, terutama karena utang luar negeri menggelembung untuk proyek-proyek infrastruktur besar, yang beberapa dibiayai oleh pinjaman China. Tetapi hanya beberapa hari kepresidenannya, Rajapaksa mendorong pemotongan pajak terbesar dalam sejarah Sri Lanka.
Langkah ini memicu gebukan palu godam dari pasar global. Kreditur menurunkan peringkat Sri Lanka, menghalangi negara itu untuk meminjam lebih banyak uang karena cadangan devisanya menukik tajam. Segera setelah itu, pandemi Covid-19 menyapu seluruh negeri, makin menghancurkan sektor pariwisata sementara utang luar negeri dan bunganya terus melambung tinggi.
Perang Ukraina juga menaikkan harga pangan dan minyak secara global, membuat impor lebih tidak terjangkau kocek Sri Lanka.
Cadangan devisa negara anjlok hingga ke tingkat di bawah $50 juta dollar. Keadaan tersebut memaksa pemerintah Sri Lanka untuk menangguhkan pembayaran utang luar negeri sebesar $7 miliar dollar yang jatuh tempo tahun ini, sementara hampir $25 miliar jatuh tempo tahun 2026 dari total utang luar negeri sebesar $51 miliar dollar.
Baca Juga: Putra Mantan PM Sri Lanka Mahinda Rajapaksa Jamin Keluarganya Tidak akan Lari ke Luar Negeri
Siapakah Kakak Beradik Klan Rajapaksa?
Protes nasional terjadi menuntut pemecatan kakak beradik Rajapaksa, sebuah perubahan nasib yang dramatis bagi dinasti politik paling kuat di Sri Lanka.
Mahinda dan Gotabaya Rajapaksa dielu-elukan sebagai pahlawan oleh mayoritas Buddha-Sinhala di pulau itu karena mengakhiri perang saudara selama 30 tahun melawan pemberontak etnis Tamil pada 2009.
Terlepas dari tuduhan kekejaman perang, mereka punya popularitas tinggi, Mahinda yang sebagai presiden pada saat itu mengawasi akhir perang, dan Gotabaya, seorang ahli strategi militer yang kampanye brutalnya membantu menghancurkan para pemberontak.
Sebuah keluarga pemilik tanah yang kuat dari distrik pedesaan selatan, klan Rajapaksa mendominasi pemilihan lokal selama bertahun-tahun sebelum naik ke politik nasional pada 2005 ketika Mahinda terpilih sebagai presiden.
Mahinda tetap berkuasa hingga 2015 ketika dia dikalahkan oleh oposisi yang dipimpin oleh mantan ajudannya.
Setelah pemboman Paskah 2019, keluarga itu kembali berkuasa di bawah Gotabaya, yang mencalonkan diri sebagai presiden dalam kampanye nasionalis bernada tinggi, meraih hati pemilih yang kecewa dengan pemerintah sebelumnya atas serangan itu.
Para pengkritik menuduh Rajapaksa sangat bergantung pada militer untuk menegakkan kebijakan, mengesahkan undang-undang untuk melemahkan lembaga independen dan mempertahankan hampir monopoli dalam pengambilan keputusan.
Tiga anggota Rajapaksa lainnya berada di Kabinet hingga awal April, ketika Kabinet mengundurkan diri sebagai bentuk protes.
Pengunduran diri Mahinda hari Senin merupakan kemenangan parsial bagi para demonstran. Dengan berlanjutnya protes, terutama di luar kantor presiden, ada tekanan baru pada presiden untuk juga ikutan mundur.
Baca Juga: Tentara Bersenjata Berat Evakuasi PM Sri Lanka yang Undur Diri Usai Rumahnya Diserbu Massa
Apa yang terjadi selanjutnya?
Presiden Rajapaksa saat ini bekerja tanpa perdana menteri dan Kabinet, yang dibubarkan secara otomatis setelah saudaranya mengundurkan diri.
Gotabaya sekarang dapat memilih anggota Parlemen untuk menjadi perdana menteri berikutnya dan membentuk Kabinet.
Pilihannya akan membutuhkan dukungan mayoritas dari 225 anggota legislatif. Tidak jelas apakah dia masih memiliki cukup dukungan di Parlemen agar kandidatnya disetujui.
Presiden bisa saja mencoba untuk membentuk pemerintahan persatuan, tetapi kemungkinan akan sulit untuk meyakinkan anggota oposisi untuk bergabung.
Jika presiden mengundurkan diri sementara tidak ada perdana menteri, ketua Parlemen akan menjadi presiden sementara selama satu bulan, di mana Parlemen akan memilih seorang anggota untuk menjadi presiden sampai pemilihan dapat diadakan.
Baca Juga: Cadangan Devisa Hanya Tersisa Rp 719 Miliar, Sri Lanka Diambang Kebangkrutan
Sebuah mosi untuk memakzulkan Rajapaksa tidak akan mudah. Itu akan membutuhkan pengesahan dari ketua parlemen, Mahkamah Agung dan dukungan dari setidaknya 150 anggota parlemen. Partai-partai oposisi tidak memegang mayoritas di Parlemen, membuat prosesnya semakin sulit.
Selama 45 tahun Sri Lanka diperintah oleh sistem presidensial eksekutif, ada satu upaya yang gagal untuk menggulingkan presiden.
Konstitusi memberikan presiden kekuasaan yang luas sebagai panglima angkatan bersenjata, kepala kabinet dan kekuasaan untuk menunjuk hakim agung, kepala polisi dan lain-lain.
Presiden, terlepas dari kekuasaannya yang luas, masih membutuhkan perdana menteri dan Kabinet untuk menjalankan fungsi eksekutif.
Ketidakpastian yang sedang berlangsung atas langkah presiden selanjutnya dan kekosongan administrasi telah menimbulkan kekhawatiran akan pengambilalihan militer, terutama jika kekerasan meningkat.
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.