FRANKFURT, KOMPAS.TV - Pemerintah Taliban Afghanistan mendesak dunia untuk melepaskan miliaran dolar AS cadangan devisa bank sentral Afghanistan ketika negara yang dilanda kekeringan itu menghadapi krisis uang tunai, kelaparan massal, dan krisis migrasi baru.
Afghanistan memarkir aset miliaran dolar di luar negeri di Federal Reserve Bank Amerika Serikat dan bank sentral lainnya di Eropa, tetapi dana itu dibekukan sejak Taliban menggulingkan pemerintah yang didukung Barat Agustus lalu.
Seorang juru bicara Kementerian Keuangan Afghanistan mengatakan, pemerintahan mereka akan menghormati hak asasi manusia, termasuk pendidikan perempuan, saat dirinya mencari dana segar di luar bantuan kemanusiaan yang katanya hanya menawarkan "bantuan kecil".
Di bawah pemerintahan Taliban tahun 1996-2001, sebagian besar wanita tidak mendapatkan pekerjaan yang dibayar dan pendidikan, serta mereka harus menutupi wajah dan ditemani oleh kerabat laki-laki ketika meninggalkan rumah.
"Uang itu milik negara Afghanistan. Berikan saja uang kami sendiri," kata Juru Bicara Kementerian Keuangan Ahmad Wali Haqmal, seperti dilansir Straits Times, Jumat, (29/10/2021).
"Membekukan uang ini tidak etis dan bertentangan dengan semua hukum dan nilai internasional."
Seorang pejabat tinggi bank sentral Afghanistan meminta negara-negara Eropa termasuk Jerman untuk melepaskan bagian mereka dari cadangan untuk menghindari keruntuhan ekonomi yang dapat memicu migrasi massal ke Eropa.
"Situasinya putus asa dan jumlah uang tunai berkurang," kata Shah Mehrabi, anggota dewan Bank Sentral Afghanistan. "Ada cukup sekarang... untuk menjaga Afghanistan sampai akhir tahun."
Dia menambahkan, "Eropa akan terkena dampak paling parah jika Afghanistan tidak mendapatkan akses ke uang ini."
"Rakyat akan mendapat pukulan ganda karena tidak dapat menemukan roti dan tidak mampu membelinya. Orang-orang akan putus asa. Mereka akan pergi ke Eropa."
Baca Juga: China Desak Bank Dunia dan IMF Cairkan Dana Pembiayaan Afghanistan
Seruan untuk bantuan datang ketika Afghanistan menghadapi keruntuhan ekonominya yang memang sudah rapuh. Kepergian pasukan pimpinan AS dan banyak donor internasional membuat negara itu kehilangan dana hibah yang membiayai tiga perempat belanja publik.
Kementerian Keuangan mengatakan pihaknya mengutip pajak harian hanya senilai sekitar 400 juta Afghani atau setara hanya Rp62,6 miliar setiap harinya.
Meskipun kekuatan Barat ingin mencegah bencana kemanusiaan di Afghanistan, mereka menolak untuk secara resmi mengakui pemerintah Taliban.
Juru Bicara Kementerian Keuangan Ahmad Wali Haqmal mengatakan Afghanistan akan memungkinkan perempuan mendapatkan pendidikan, meskipun tidak di ruang kelas yang sama dengan laki-laki.
Hak asasi manusia, katanya, akan dihormati tetapi dalam kerangka hukum Islam, yang tidak akan mencakup hak-hak gay.
"LGBT... Itu bertentangan dengan hukum syariah kami," katanya.
Baca Juga: Badan Pangan PBB Memperingatkan, Jutaan Warga Afghanistan Saat Ini Terancam Mati Kelaparan
Shah Mehrabi dari Bank Sentral Afghanistan berharap, sementara AS baru-baru ini mengatakan tidak akan melepaskan bagian terbesarnya dari dana milik Afghanistan senilai USD9 miliar, negara-negara Eropa mungkin akan melakukannya.
Dia mengatakan Jerman menyimpan setengah miliar dolar uang Afghanistan. Menurutnya, Jerman serta negara-negara Eropa lainnya harus mengeluarkan dana tersebut.
Mehrabi mengatakan Afghanistan membutuhkan USD150 juta setiap bulan untuk "mencegah krisis yang akan segera terjadi", menjaga mata uang lokal dan menjaga kestabilan harga, sambil mengatakan setiap transfer dapat dipantau oleh auditor.
"Jika cadangan tetap dibekukan, importir Afghanistan tidak akan mampu membayar pengiriman mereka, bank akan mulai runtuh, makanan akan menjadi langka, toko kelontong akan kosong," kata Mehrabi.
Dia mengatakan bahwa sekitar USD431 juta cadangan bank sentral Afghanistan disimpan dengan pemberi pinjaman Jerman Commerzbank, serta sekitar USD94 juta dengan bank sentral Jerman, Bundesbank.
Bank for International Settlements, sebuah grup payung untuk bank sentral global di Swiss, memegang sekitar USD660 juta. Ketiganya menolak berkomentar.
Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan bulan Agustus setelah Amerika Serikat menarik pasukan mereka, hampir 20 tahun setelah Taliban digulingkan oleh pasukan di bawah pimpinan Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Sumber : Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.