BALA MURGHAB, KOMPAS.TV - Kekeringan melanda ladang yang sudah sejak lama kering di distrik terpencil Bala Murghab di Afghanistan, di mana perubahan iklim terbukti menjadi musuh yang lebih mematikan daripada konflik.
Saat dunia menyaksikan Taliban melancarkan serangan menakjubkan yang berakhir dengan keruntuhan cepat pemerintah negara yang didukung Barat, krisis jangka panjang sedang merangkak cepat di Afghanistan.
Dalam upaya putus asa untuk memberi makan keluarga mereka, para penggembala di Bala Mughrab terpaksa menjual ternak mereka, petani meninggalkan desa mereka dan orang tua menyorongkan anak perempuan mereka untuk dinikahkan di usia yang semakin muda.
"Terakhir kali saya melihat hujan adalah tahun lalu, dan itu pun tidak banyak," kata Mullah Fateh, kepala desa Haji Rashid Khan di Bala Murghab, seperti dilansir Straits Times, Senin (25/10/2021).
Masyarakat di wilayah itu mencoba bertahan dari deraan hidup dalam kelompok kecil, tinggal dalam rumah terbuat dari bata lumpur di antara lautan tak berujung perbukitan cokelat di sudut provinsi Badghis ini. Badan kemanusiaan ACTED melaporkan, 90 persen dari 600.000 penduduk hidup dari ternak atau ladang.
“Kami menjual domba untuk membeli makanan, sementara yang lain mati kehausan,” kata Mullah Fateh.
Ketika kekeringan pertama dari dua kekeringan panjang menghantam pada tahun 2018, Mullah Fateh memiliki 300 domba, tetapi saat musim kering terbaru datang, kambingnya tersisa hanya menjadi 20 ekor.
Baca Juga: ICRC Ingatkan, Kerja Lembaga Bantuan Belum Cukup untuk Halau Krisis Kemanusiaan Afghanistan
Hari Senin (25/10/2021), badan-badan PBB mengatakan lebih dari 22 juta warga Afghanistan akan menderita "ketidakamanan pangan akut" musim dingin ini, sambil memperingatkan negara yang tidak stabil itu menghadapi salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Afghanistan yang menggantungkan hidup rakyatnya pada bantuan, saat ini berada di urutan ke enam negara yang menanggung pukulan terberat perubahan iklim yang didorong oleh emisi rumah kaca seperti CO2, menurut sebuah studi oleh kelompok lingkungan Germanwatch.
Sementara, Afghanistan sebenarnya tidak menghasilkan emisi karbon yang signifikan, di mana gaya hidup Afghanistan hanya menghasilkan 0,2 ton emisi CO2 per tahun, dibandingkan dengan 15 ton dari rata-rata Amerika, menurut angka Bank Dunia.
Seperti yang diperkirakan, salah satu dampak yang menghancurkan adalah penurunan curah hujan di Afghanistan utara.
Ketika Mullah Fateh perlu mengambil air, dia mengirim anak laki-laki dan laki-laki dewasa dalam perjalanan satu hari penuh dengan seekor keledai. Tahun ini, katanya, dua orang penggembala muda mati kehausan di perbukitan.
Rasa haus tidak hanya menyerang tubuh, tetapi juga ikatan keluarga.
Tahun ini, 20 keluarga di desa Haji Rashid Khan, yang tidak memiliki sekolah dan klinik, menikahkan anak perempuan mereka yang masih sangat kecil, demi mengumpulkan uang untuk makanan.
“Anak-anak yang lain lapar dan haus,” jelas Bibi Yeleh, seorang ibu dari tujuh anak yang putrinya berusia 15 tahun sudah menikah dan yang berusia tujuh tahun akan segera menyusul untuk menikah.
Baca Juga: Taliban Dituduh Penggal Kepala Bintang Voli Perempuan Afghanistan
Jika kekeringan berlanjut, katanya, seorang anak berusia dua dan lima tahun berikutnya, akan diserahkan kepada keluarga mempelai pria ketika mereka lebih tua.
Sekitar 45 dari sekitar 165 keluarga di desa itu dan puluhan ribu keluarga di seluruh provinsi sudah mengungsi tahun ini ke kamp-kamp yang menyedihkan di pinggiran kota-kota besar.
Bahkan di sana, makanan sulit didapat, dan beberapa mengambil risiko nekat.
"Keluarga tetap tinggal, tetapi para pria harus pergi mencari pekerjaan di Iran atau sekitarnya, beberapa meninggal di jalan," kata Musanmill Abdullah, 28, yang tinggal bersama keluarganya di desa Badghis lainnya.
Komunitas ini dinamai menurut ayahnya, Haji Jamal, dan Abdullah adalah anggota Taliban, gerakan yang seharusnya merayakan kemenangan perang.
Tetapi keberhasilan militer dan politik di Kabul tidak banyak membantu orang Badghis.
"Ladang hancur, ternak tidak memiliki apa pun. Selama dua tahun terakhir, enam orang meninggal karena kelaparan," kata lelaki tua itu, Haji Jamal.
"Jeriken yang kami gunakan untuk mengumpulkan air sudah aus dan kami tidak mampu untuk menggantinya."
Tetangga Lal Bibi mengatakan, keputusasaan memuncak terutama karena "perempuan dan anak-anak sendirian, dan dalam bahaya".
Hanya sedikit warga setempat yang pernah mendengar tentang perubahan iklim, tetapi laporan PBB memperingatkan kekeringan tahunan di beberapa wilayah Afghanistan "mungkin akan menjadi lazim" pada tahun 2030.
Baca Juga: ISIS Lagi-lagi Mengaku Dalangi Bom Bunuh Diri di Masjid Syiah di Afghanistan yang Tewaskan 47 Orang
Taliban belum diakui oleh pemerintah asing dan cadangan devisa Afghanistan juga masih dibekukan, yang sebagian besar berada di Amerika Serikat. Hal itu diperparah dengan terganggunya aliran bantuan internasional.
Perwakilan regional dari pemerintahan baru Taliban mengatakan hanya sedikit yang bisa mereka lakukan.
"Emirat tidak punya banyak uang. Rencana kami terkait erat dengan komunitas internasional," kata Abdul Hakim Haghyar dari kantor pengungsi Provinsi Badghis.
Beberapa LSM internasional masih beroperasi dan pemerintah asing menjanjikan bantuan kemanusiaan jika dapat disalurkan ke rakyat, tetapi Taliban masih tetap berada di bawah sanksi internasional.
Di kamp-kamp untuk para petani terlantar, keadaan menjadi putus asa. Ketika ayah Bashir Ahmad yang berusia sembilan tahun menjual ternak terakhirnya, anak laki-laki itu mendapat pekerjaan mengais-ngais kaleng dan botol bekas.
Di antara sampah, ia menemukan amunisi yang belum meledak. Amunisi itu lalu meledak dan dia kehilangan dua jari di satu tangan, tiga di tangan lainnya. Sekarang dia berbaring di samping ayahnya, tangannya di perban, menjadi beban baru untuk ditanggung orang tua mereka.
Sumber : Straits Times/AFP
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.