Kepulauan Paracel, yang dijuluki Xisha di China, merupakan satu dari ratusan kepulauan, koral dan karang di Laut China Selatan yang kaya sumber daya alam (SDA). Laut China Selatan diperebutkan oleh China, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Beijing sendiri mengklaim hak sejarah atas segala sesuatu di dalam “9 garis putus-putus”, garis demarkasi yang ditetapkan China atas sebagian besar Laut China Selatan.
China menguasai Paracel, kelompok kepulauan tandus yang terletak sekitar 400 kilometer di timur Vietnam dan 350 kilometer di tenggara Pulau Hainan, pada tahun 1970-an. Kepulauan Paracel juga diperebutkan oleh Vietnam – yang menyebutnya Hoang Sa –, juga Taiwan.
Ketiga negara, kata AL AS, membutuhkan izin atau pemberitahuan sebelumnya bagi kapal militer apa pun untuk berlayar melintasi area itu.
Pada 12 Juli 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag menolak “9 garis putus-putus” yang diklaim China dan memutuskan bahwa Beijing tak punya hak sejarah atas Laut China Selatan.
Pengadilan di Den Haag juga menyatakan, China telah mengganggu hak penangkapan ikan tradisional Filipina di Scarborough Shoal dan melanggar hak kedaulatan Filipina dengan mengeksplorasi minyak dan gas dekat Reed Bank.
Selama 5 tahun terakhir, China berulang kali menyatakan menolak keputusan itu dan tetap memperluas kehadirannya di Laut China Selatan.
Dalam sebuah pernyataan tertulis pada Minggu (11/7/2021), Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, kebebasan laut adalah kepentingan “abadi” semua negara.
“Tak ada ancaman yang lebih besar atas tatanan maritim berbasis aturan daripada yang terjadi di Laut China Selatan,” kata Blinken.
Baca Juga: Filipina Tuduh China Ingin Caplok Wilayah Kekuasaan Lebih Banyak di Laut China Selatan
“RRC terus memaksa dan mengintimidasi negara-negara di pesisir Asia Tenggara, mengancam kebebasan navigasi di jalur global kritis ini,” katanya.
Blinken juga mengulangi peringatannya pada China bahwa serangan terhadap tentara bersenjata Filipina di Laut China Selatan akan memicu perjanjian pertahanan bersama AS-Filipina tahun 1951.
“Kami menyerukan pada RRC untuk mematuhi kewajibannya di bawah hukum internasional, menghentikan perilaku provokatifnya, dan mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan masyarakat internasional bahwa China berkomitmen pada tatanan maritim berbasis aturan yang menghormati hak-hak seluruh negara, besar maupun kecil,” tambah Blinken.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.