OSAKA, KOMPAS.TV - Kiper Timnas Myanmar Pyae Lyan Aung menolak pulang ke negaranya dan memutuskan mencari suaka di Jepang.
Keputusan tersebut dibuatnya setelah ia memberikan tanda pro-demokrasi tiga jari sebelum timnya menghadapi Jepang di China, bulan lalu.
Tanda tiga jari tersebut merupakan simbol perlawanan demokrasi terhadap rezim kediktatoran junta militer Myanmar.
Tanda itu kerap dilakukan para demonstran pro-demokrasi dalam menghadapi tindakan represif junta militer Myanmar.
Baca Juga: Majelis Umum PBB Serukan Embargo Militer Atas Junta Militer Myanmar
Menurut pengacaranya pada konferensi pers, Kamis (17/6/2021), di Osaka, Pyae Lyan Aung, menegaskan nyawanya terancam jika ia pulang ke Myanmar.
“Saya pikir telah melakukan hal yang tepat. Saya tak memiliki penyesalan,” tuturnya dikutip Kyodo News.
Pyae Lyan Aung seharusnya pulang kembali ke negaranya bersama rekan setimnya, Rabu (16/6/2021).
Namun kemudian ia berbicara dengan otoritas imigrasi di Bandara Kansai, Prefektur Osaka, bahwa ia ingin tinggal di negara ini.
Baca Juga: Desak Segera Hentikan Kekerasan, Utusan ASEAN Kembali Temui Pemimpin Junta Myanmar
Pyae Lyan Aung mengungkapkan penahanan dan tak ada jaminan untuk hidup menjadi alasannya.
Ia mengungkapkan sebelumnya memang sudah berencana melakukan protes sebelum melakoni laga melawan Jepang di ajang kualifikasi Piala Dunia.
Namun, ia tak berpikir jauh bahwa akan menolak untuk pulang ke negaranya.
“Ini pertama kalinya saya ke Jepang, dan tak berbicara bahasa Jepang. Jadi saya khawatir dan gelisah dengan lingkungan yang tak diketahui ini,” ujatnya.
Ia juga mengaku khawatir dengan keamanan keluarga dan rekan setimnya.
Baca Juga: Junta Militer Myanmar Dakwa Aung San Suu Kyi atas Tindakan Korupsi
Sementara itu Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Katsunobu Kato mengatakan pihaknya ingin merespons secara tepat dengan mendengarkan permintaannya.
Kementerian Hukum Jepang pada Mei lalu, mengizinkan penduduk memperpanjang masa tinggalnya sebagai langkah darurat
Junta militer Myanmar kembali berkuasa setelah melakukan kudeta pada 1 Februari lalu dan menangkap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Berdasarkan laporan Asosiasi Asistensi untuk Tahanan Politik (AAPP) menegaskan hingga Rabu, korban tewas atas kekerasan junta militer telah mencapai 865 orang, dan sekitar 4.900 orang ditangkap.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.