JAKARTA, KOMPAS.TV- Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengonfirmasi bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kendari, Sulawesi Tenggara, hingga saat ini masih dibiayai menggunakan dana pribadi Presiden Prabowo Subianto.
Meskipun pemerintah telah menganggarkan Rp71 triliun untuk pelaksanaan program itu, dana tersebut belum digunakan dalam implementasi di Kendari.
Hasan menjelaskan, program MBG di Kendari masih memanfaatkan sisa anggaran dari dana pribadi Presiden Prabowo yang digunakan saat uji coba program tersebut pada tahun sebelumnya.
Peneliti Hukum CELIOS Muhamad Saleh menilai, penggunaan dana pribadi oleh pejabat negara untuk membiayai program MBG merupakan penyimpangan serius terhadap prinsip dasar pengelolaan keuangan negara.
Baca Juga: Menteri Koperasi Sebut Minyak Makan Merah untuk MBG, Apa Saja Manfaat dan Risikonya?
Dalam perspektif hukum, tindakan ini bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003, yang mengatur bahwa semua penerimaan dan pengeluaran negara harus dikelola dalam mekanisme resmi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Ketentuan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menjadi dasar akuntabilitas publik terhadap penggunaan keuangan negara," kata Saleh dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.tv, Selasa (7/1/2025).
Ia menuturkan, pengelolaan keuangan negara yang baik menuntut transparansi, efisiensi, dan tanggung jawab sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Keuangan Negara.
Ketika seorang pejabat menggunakan dana pribadi untuk membiayai program negara, transparansi pengelolaan menjadi kabur, karena pengeluaran tersebut tidak dapat diaudit secara resmi.
Baca Juga: Konsumen Terlanjur Bayar PPN 12 Persen meski Bukan Barang Mewah, Ini Skema Pengembaliannya
Hal ini membuka ruang bagi potensi penyalahgunaan wewenang dan mengaburkan garis tegas antara kepentingan pribadi dan publik.
"Dari sudut pandang tata kelola pemerintahan, penggunaan dana pribadi oleh pejabat dapat menciptakan preseden buruk," ujarnya.
Ia melanjutkan, tindakan ini mengabaikan mekanisme formal yang telah diatur dan mengirimkan sinyal bahwa pelanggaran terhadap aturan administratif dapat ditoleransi demi alasan pragmatis.
Padahal, dalam konteks negara hukum, setiap keputusan dan tindakan pejabat harus tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014.
Baca Juga: Program Makan Bergizi Gratis Tanpa Susu, Padahal Jadi Menu Favorit Siswa, Ini Penjelasannya
Pelanggaran terhadap asas ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik tetapi juga merusak legitimasi institusi pemerintahan itu sendiri.
Di sisi lain, penggunaan dana pribadi untuk program negara juga berpotensi menciptakan konflik kepentingan, terutama ketika dana tersebut digunakan untuk membangun citra politik atau kepentingan lain di luar tujuan program.
"Dalam sistem tata kelola yang mengedepankan integritas, tindakan seperti ini seharusnya dihindari karena melemahkan prinsip checks and balances dalam pengelolaan keuangan negara," imbuhnya.
Saleh menegaskan, tindakan menggunakan dana pribadi untuk membiayai program pemerintah mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memastikan alokasi anggaran yang tepat waktu dan sesuai kebutuhan.
Baca Juga: Tok! Biaya Haji 2025 Ditetapkan Rp89,4 Juta, Calon Jemaah Bayar Bipih Rp55,43 Juta
Jika memang terdapat hambatan administratif dalam penggunaan anggaran resmi, pemerintah harus mencari solusi legal seperti revisi anggaran atau percepatan birokrasi, bukan dengan mengandalkan dana pribadi pejabat.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa keuangan negara dikelola secara legal, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.