JAKARTA, KOMPAS.TV - Strategi Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam RAPBN 2024 sangat tergantung pada presiden terpilih berikutnya.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati menjelaskan dalam pembacaan RAPBN 2024 dan Nota Keuangan, transformasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah ditempuh melalui dua strategi utama, yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka menengah.
Strategi jangka pendek difokuskan untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem, penurunan prevalensi stunting, pengendalian inflasi, dan peningkatan investasi.
Menurut Anis akan sangat sulit bagi pemerintah mewujudkan penurunan prevelensi serendah mungkin dan menghapuskan kemiskinan ekstrem hanya dalam waktu kurang lebih satu tahun ke depan.
"Sedangkan agenda jangka menengah yang menjadi target pemerintah akan sangat tergantung dari presiden terpilih nantinya," ujarnya dalam pesan tertulis, Kamis (17/8/2023).
Baca Juga: 5 Strategi Jangka Menengah Presiden Jokowi di Arsitektur APBN 2024 Inklusif Berkelanjutan
Anis menambahkan target pertumbuhan ekonomi 2024 yang diperkirakan sebesar 5,2 persen tak bisa diharapkan secara maksimal.
Dalam catatannya 10 tahun pemerintahan Joko Widodo rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi hanya mampu dicapai 4,23 persen.
Angka tersebut jauh dari target yang disampaikan Presiden Jokowi diawal masa kepemimpinannya sebesar 7 persen. Bahkan dalam RPJMN 2020-2024, target pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 6,0-6,2 persen pada akhir tahun 2024.
Anis mengakui dalam dua tahun 2020-2022, perekonomian global menghadapi krisis multi dimensi yang disebabkan pandemi Covid-19. Kondisi ini menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun pasca Covid-19 pemulihan ekonomi Indonesia banyak terbantu tingginya harga komoditas unggulan, seperti batu bara, nikel, kelapa sawit dan komoditas lainnya.
Baca Juga: Jokowi Sampaikan RAPBN 2024, Bagaimana Strategi Keuangan Negara di 2024?
"Ujian sesungguhnya akan terlihat ketika harga komoditas tersebut mulai turun pada pertengahan tahun 2023,” ujar Anis.
Lebih lanjut Anis menjelaskan proses konsolidasi fiskal dan transformasi struktural yang sudah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir juga belum terlalu banyak mempengaruhi perekonomian nasional.
Hal tersebut tercermin dalam UU Cipta Kerja. Keputusan MK untuk memperbaiki kualitas UU belum dilaksanakan sepenuhnya yang mengakibatkan hubungan industri antara pekerja dan pengusaha bahkan dengan Pemerintah sekalipun menjadi kurang harmonis.
Kondisi ini sangat tidak sejalan dengan semangat untuk membangun iklim investasi yang kondusif.
Begitu pula dengan sektor perpajakan. Membaiknya penerimaan perpajakan belum sepenuhnya hasil dari implementasi kebijakan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang sudah dilaksanakan, tetapi masih sangat terbantu oleh harga komoditas.
Baca Juga: Misbakhun Berharap RAPBN Terakhir Jokowi Ada Terobosan Baru dan Inovatif Jawab Tantangan Ekonomi
Harapan terhadap perbaikan hubungan keuangan pusat dan daerah, belum mencerminkan perbaikan kualitas fiskal daerah, pelaksanaan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) belum berjalan secara efektif dalam memperbaiki kinerja ekonomi dan keuangan daerah.
"Masih banyak persoalan yang dihadapi baik oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan hubungan pusat dan daerah," ujar Anis.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.