JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah selama ini selalu berupaya mengelola utang secara hati-hati, serta memperhitungkan biaya dan risiko secara cermat saat berutang.
Hal itu ia sampaikan dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI, Selasa (30/5/2023), guna menanggapi catatan dari sejumlah fraksi di DPR
"Dalam menjalankan kebijakan fiskal 2024 yang ekspansif, terarah dan terukur, Pemerintah akan mengendalikan defisit di kisaran 2,16 persen hingga 2,64 persen PDB," kata Sri Mulyani.
"Sejalan dengan hal tersebut, pembiayaan utang tetap dikelola secara prudent, dan sustainable sesuai best practice pengelolaan utang, dengan menjaga keseimbangan antara biaya dan risiko, menjaga rasio utang dalam batas aman di kisaran 38,07 persen hingga 38,97 persen PDB," tambahnya.
Baca Juga: Gagal Bayar Utang AS Masih Mengancam, Jumlah Perusahaan yang Ajukan Pailit Tertinggi dalam 12 Tahun
Ia menyampaikan, pemerintah selalu menerbitkan utang secara terukur, serta melakukan pendalaman pasar agar cost of fund semakin efisien.
Dalam rapat paripurma pekan lalu, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP, memberi catatan kepada pemerintah.
Yakni soal pentingnya menjaga pengelolaan fiskal yang sehat, prudent (hati-hati) dan berkelanjutan.
Sri Mulyani yang pernah jadi Menkeu di era Presiden SBY itu menambahkan, pemerintah juga terus mendorong pembiayaan inovatif dan kreatif dengan memberdayakan peran swasta, BUMN, BLU, SMV, dan SWF, untuk mengakselerasi pencapaian target pembangunan.
Baca Juga: Respon Sri Mulyani soal JK Sebut Pemerintah Bayar Utang Rp1.000 T Per Tahun
Adapun BLU adalah Badan Layanan Usaha, SMV adalah Special Mission Vehicle, dan SWF adalah Sovereign Wealth Fund.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah pada akhir April 2023 mencapai Rp 7.849,89 triliun. Nilai ini berkurang Rp 29 triliun dibandingkan bulan sebelumnya.
Mengutip Buku APBN Kita Edisi Mei 2023, rasio utang Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir April 2023 berada di batas aman alias jauh di bawah 60% PDB, sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Rasio utang pada April tersebut menurun menjadi 38,15% PDB, jika dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 39,17% PDB.
Baca Juga: Sri Mulyani Siapkan Dana Rp203,5 T untuk Bangun Jalan di Pusat dan Daerah, Sumatera Dapat Terbanyak
Baik secara nominal maupun rasio, posisi utang mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya.
Hal ini dipengaruhi oleh mutasi pembiayaan baik dari instrumen Pinjaman maupun SBN, yang mana pembayaran cicilan pokok utang pada bulan April lebih besar dari pada pengadaan/penerbitan utang baru, serta adanya apresiasi rupiah terhadap major currency valas (EUR, JPY, USD) pada April 2023 dibandingkan Maret 2023.
Faktor lainnya yang mendorong penurunan utang adalah penguatan mata uang rupiah terhadap beberapa mata uang utama dunia, seperti euro, yen dan dolar AS pada bulan lalu dibandingkan Maret 2023.
Utang pemerintah terdiri atas instrumen SBN alias obligasi dan pinjaman. Utang berbentuk SBN tercatat sebesar Rp 7.007,03 triliun per akhir bulan lalu.
Baca Juga: Meski Kurang Laku, Luhut Yakin BYD Asal China Mau Investasi Mobil Listrik di RI
Nilainya berkurang Rp 6,5 triliun dalam sebulan karena penurunan pada SBN valuta asing lebih besar dibandingkan peningkatan pada SBN domestik rupiah.
Pola serupa juga terlihat pada utang pemerintah berbentuk pinjaman. Posisi pinjaman pemerintah sebesar Rp 842,86 triliun, berkurang Rp 22,6 triliun dari bulan sebelumnya.
Penyebabnya, nilai pinjaman luar negeri pemerintah yang berkurang saat pinjaman di dalam negeri meningkat. Penurunan tersebut baik yang berasal dari pinjaman bilateral, multilateral maupun bank komersial.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.