JAKARTA, KOMPAS.TV - Televisi Republik Indonesia atau lebih umum dikenal sebagai TVRI, merupakan satu-satunya televisi yang jangkauannya mencapai seluruh wilayah NKRI. Siapa yang tak mengenalnya? Tetapi, tak banyak juga yang mengetahui tentang sejarahnya, termasuk status TVRI yang sempat bergonta-ganti.
TVRI pernah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dari Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perseroan Terbatas (PT). Namun, kini TVRI bergantung pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena telah berganti status menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP).
Selain APBN, TVRI juga memperoleh pendapatan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Jenis-jenis PNBP TVRI yang diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2017 berasal dari jasa tayang, produksi program, media online, penggunaan sarana dan prasarana siaran, pendidikan pelatihan, dan layanan digitalisasi penyiaran.
Baca Juga: Sri Mulyani: APBN Maret 2023 Surplus Rp128,5 Triliun
Publikasi laporan keuangan TVRI terakhir kali dilakukan pada tahun 2021 yang diterbitkan oleh Direktorat Keuangan TVRI yang sudah diaudit. Dalam laporan keuangan tersebut disebutkan, pendapatan TVRI dari PNBP terealisasi tercatat sebesar Rp148,12 miliar. Besaran PNBP yang diterima ini lebih rendah dibandingkan target anggaran sebesar Rp152,05 miliar.
Bisa dikatakan bahwa jumlah tersebut jauh dari mencukupi, bila menggantungkan operasional dari PNBP tersebut.
Untuk memberikan perbandingan, beban untuk belanja pegawai mencapai Rp385,11 miliar. Belum lagi ditambah dengan beban belanja barang yang mencapai Rp505,44 miliar serta belanja modal Rp275,38 miliar. Bisa disimpulkan bahwa total bebannya adalah Rp1,16 triliun.
Kekurangan tersebut ditutup dengan mengandalkan suntikan dana dari APBN pemerintah. Melansir laporan Kompas.com, pada tahun 2022, TVRI mendapatkan alokasi dana APBN sebesar Rp1,6 triliun.
Baca Juga: 40 Meter Bagian Tower Stasiun TVRI Roboh Akibat Angin Puting Beliung, TVRI Rugi Ratusan Juta Rupiah!
Diberitakan Harian Kompas, siaran pertama TVRI terjadi pada 24 Agustus 1962. Tetapi siaran tersebut masih sangat terbatas, mengingat pada saat itu televisi merupakan barang langka dan bernilai cukup mahal.
Contohnya pada tahun 1965, dibarengi dengan pemasangan televisi di sejumlah tempat umum, seperti stasiun, terminal, dan kantor kecamatan, TVRI baru membangun proyek menara televisi di perbukitan Gantung, Gombal, dan Cemorosewu untuk meluaskan siaran di sekitar Jawa Tengah.
Televisi yang dimiliki perseorangan mengenakan biaya yang lumayan. Selain dari pajak, pemilik televisi juga dikenakan iuran bulanan.
Misalnya pada tahun 1969, biaya pendaftaran sekali saja dikenakan Rp300 dengan ditambah iuran bulanan yang mencapai Rp200 per bulannya yang dibayarkan semuanya di Kantor Pos. Untuk mendaftarkan televisi, pemilik harus menunjukkan kuitansi pembelian.
Baca Juga: Dirut TVRI Iman Brotoseno Akui Punya Kesalahan Masa Lalu yang Tak Disengaja
Sempat terjadi razia kepemilikan televisi pada saat itu yang dilakukan dari rumah ke rumah. Hal tersebut terjadi karena pada tahun 1971, tercatat hanya 11.000 televisi yang terdaftar di Tanah Air.
Padahal, faktanya, jumlah televisi yang ditonton masyarakat sekitar 150.000 unit. Akibatnya, pemilik televisi yang tidak membayar dan telat membayar, mendapatkan sanksi berupa denda.
Razia yang dilakukan pada 2 Juli hingga 27 September 1973 di Jakarta membuahkan hasil berupa temuan 4.308 pesawat televisi yang belum didaftarkan kepemilikannya. Selain itu, hasil dari razia tersebut, Daerah Pos I Jakarta menerima denda dan iuran sebesar Rp9.915.200.
Kemudian pada tahun 1 Januari 1974, mulai ditetapkan kenaikan iuran televisi menjadi Rp500 per bulan untuk pesawat televisi berukuran 6 inci ke bawah dan Rp750 per bulan untuk pesawat televisi ukuran 16 inci.
Sekarang, iuran televisi sudah tidak ada lagi. Ditambah lagi, kini televisi bukan lagi barang mewah. Kini, siaran televisi bisa dilihat dan digantikan dengan smartphone.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.