JAKARTA, KOMPAS.TV – Ada dugaan cacat prosedur dan pelanggaran praktik persaingan usaha yang sehat dalam proses rekomendasi impor dan pengawasan distribusi gula hasil olahan.
Oleh karena dugaan itu, Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah mengevaluasi dan menertibkan praktik kartel dalam industri gula rafinasi yang selama ini merugikan petani tebu dan mengancam kemandirian pangan.
Permasalahan ini dibahas dalam rapat kerja Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Perindustrian di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/2/2022).
Dalam hal ini, Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Impor Bahan Baku Industri dari Komisi VII memaparkan sejumlah hasil temuan sementaranya. Hingga saat ini, penyelidikan oleh panja masih terus berlangsung.
“Hasil penelusuran panja menemukan adanya praktik oligopoli di industri gula rafinasi,” kata Ketua Panja Pengawasan Impor Bahan Baku Industri Bambang Heriyadi, Rabu, dilansir dari Kompas.id.
Disebutkan, sebanyak 11 perusahaan yang mendapat izin kuota mengimpor gula kristal mentah (GKM) menjadi gula kristal rafinasi (GKR) untuk kebutuhan industri terindikasi dikuasai hanya oleh segelintir orang.
Menurutnya, hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Baca Juga: BUMN RNI Akan Impor Gula 75.000 Ton Mulai April
”Ini seperti gurita, kepalanya satu tetapi kakinya ada banyak. Ada sekitar lima perusahaan yang kami deteksi hanya dimiliki orang yang itu-itu saja. Kalau mau dievaluasi, sebenarnya yang lolos administrasi seharusnya tidak sampai 11 perusahaan,” ungkapnya.
Minim Pengawasan
Lebih jauh, Bambang menjabarkan bahwa pengawasan terhadap distribusi gula hasil olahan yang tidak ketat dan transparan memunculkan potensi rembesan dari yang seharusnya dijual ke industri menjadi ke pasar konsumsi.
Gula olahan yang tidak sesuai peruntukan dan masuk ke pasar konsumsi itu pun otomatis merugikan petani tebu, karena semakin menekan harga gula petani dan membuat gula hasil petani tidak terserap di pasaran.
”Potensi rembesan dari gula olahan yang seharusnya untuk industri itu selama ini terus terjadi dan mengkhawatirkan. Sementara, dengan disparitas harga yang tinggi, perusahaan-perusahaan itu bisa memetik keuntungan yang besar sampai 40 persen dengan menjual diam-diam ke pasar konsumsi,” kata Bambang, yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR.
Praktik tersebut dilakukan di tengah semakin membengkaknya impor gula mentah (raw sugar) untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi untuk kebutuhan industri.
Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Pangan, 26 Oktober 2021 lalu, pemerintah menerbitkan rekomendasi persetujuan impor sebesar 3,48 juta ton gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi.
Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan kuota impor gula kristal mentah untuk rafinasi tahun 2021 sebesar 3,2 juta ton. Secara umum, pemerintah memberikan rekomendasi impor gula mentah sebanyak 4,37 ton tahun ini, dengan rincian impor gula mentah untuk rafinasi sebanyak 3,48 juta ton dan impor gula mentah untuk kebutuhan konsumsi sebanyak 900.000 ton.
“Ini miris, karena ketika kita dengan gagah berani mengatakan mau memperkuat kemandirian pangan, impor gula justru terus naik dari tahun ke tahun. Kita memakmurkan petani, tetapi bukan petani kita, melainkan petani Thailand dan petani India,” kata Bambang.
Baca Juga: Begini Cara Membedakan Gula Rafinasi dan Gula Kristal Putih
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.