JAKARTA, KOMPAS.TV – Rencana implementasi bahan bakar solar B40 sepertinya tidak berjalan mulus. Ada sejumlah faktor kendala, seperti harga CPO sebagai bahan baku biodiesel, yang melonjak tinggi serta adanya pandemi Covid-19.
Melansir dari Kompas.id, dalam 1 liter bahan bakar jenis ini terdiri dari solar murni 60 persen dan biodiesel dari minyak kelapa sawit atau CPO 40 persen. Harga CPO yang tinggi dikhawatirkan mengganggu konsistensi penerapan bahan bakar solar B40.
Untuk itu, pemerintah terus berupaya mematangkan persiapan B40 sebelum benar-benar diluncurkan ke pasar. Persiapan tersebut menyangkut teknologi, regulasi, hingga kesiapan badan usaha dan industri.
Sebelumnya, program solar B-40 ditargetkan diterapkan pada tahun ini. Namun, karena pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, rencana tersebut tertunda sampai batas waktu yang belum ditetapkan.
Untuk sekarang ini, penggunaan yang berlaku adalah solar B30 (biodiesel 30 persen) atau dikenal dengan nama pasar biosolar.
“Uji coba solar B40 sebenarnya telah dilakukan. Hasilnya pun telah keluar. Namun, masih ada sejumlah persyaratan lain yang harus dipenuhi hingga bahan bakar tersebut benar-benar dinyatakan layak diterapkan,” terang Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dalam webinar bertajuk ”Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodisel: Menuju B40”, Selasa (30/11/2021).
Baca Juga: Usai Program Biodiesel B30 Berjalan Lancar, Pemerintah Bersiap Naik ke Program B40
Pihaknya saa ini tengah menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk spesifikasi biodiesel B40, SNI bahan bakar nabati, teknologi, regulasi, dan insentif.
“Dalam waktu dekat, kami akan merealisasikan uji jalan B40,” katanya.
Terlepas dari persiapan-persiapan itu, lanjut Dadan, pemerintah terus mendorong penerapan bahan bakar nabati. Badan usaha yang terlibat di bagian produksi didorong untuk mematuhi prinsip-prinsip lingkungan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan kebijakan besar mengurangi emisi gas rumah kaca.
Adapun, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, sekitar 75 persen kendaraan di Indonesia memakai gasolin (bensin), sisanya mengonsumsi solar.
Sejak 2006, di Indonesia sebenarnya telah mengembangkan bahan bakar nabati jenis bioetanol, tetapi perkembangannya tidak optimal hingga sekarang.
”Implementasi bahan bakar nabati di Indonesia sudah sejak 15 tahun lalu, tetapi lebih banyak fokus ke biodiesel. Kalaupun ingin uji coba teknis di jalan untuk jenis B40 dalam waktu dekat, pemerintah perlu memberikan detail mekanisme. Hanya saja, jangan lupakan bahan bakar nabati alternatif lannya,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Penyaluran Dana pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo menuturknan, implementasi solar B40 perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain;
Pertama, masih ada kekurangan bahan baku untuk penerapan B-40 secara nasional.
Kedua, masih perlu kajian keekonomian B-40 secara komprehensif karena menyangkut potensi adanya tambahan investasi industri.
Ketiga, kecukupan dana untuk menutup selisih atau kekurangan harga indeks pasar. “Ini karena perubahan harga CPO cukup dinamis,” ujarnya.
Keempat, berhubungan dengan persyaratan kandungan air maksimum dalam B-40 sebesar 220 parts per million (ppm).
Baca Juga: Naiknya Harga CPO Picu Kenaikan Harga Minyak Goreng
Sumber : Kompas TV/Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.