JAKARTA, KOMPAS.TV – Untuk mengatasi fluktuasi harga cabai di pasaran, Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani menyarankan adanya kebijakan untuk pengembangan cold chain atau rantai dingin di sektor pertanian. Hal ini dapat dilakukan melalui pengaturan sistem distribusi dan penyimpanan atau stok.
Ia mengemukakan menurunnya permintaan akan cabai belum lama ini telah menekan harga dan merugikan petani cabai, terutama karena mereka baru saja memasuki masa panen. Hal itu, sebenarnya dapat dicegah dengan mengembangkan cold chain atau rantai dingin yang dapat menjaga kestabilan suhu komoditas.
"Penggunaan rantai dingin dapat membantu petani dalam menjaga hasil panennya," kata Arumdriya dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (1/9/2021).
Selain itu, menurutnya, berkurangnya permintaan cabai sangat mungkin disebabkan oleh Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang membatasi kegiatan operasional rumah makan, restoran dan juga menurunnya daya beli.
Adapun, sistem rantai dingin adalah jenis rantai suplai yang penggunaannya bertujuan untuk menjaga suhu agar produk tetap terjaga selama proses distribusi.
Pengembangan sistem ini secara komprehensif, lanjut Arumdriya, dapat membantu menjaga kualitas hasil panen dimulai dari pengangkutan, penyimpanan dan penjualan. Ditambah, harga cabai biasanya bersifat fluktuatif mengikuti masa panen yang umumnya terjadi enam kali dalam setahun.
Baca Juga: Harga Cabai Anjlok, Tanaman Tak Terurus dan Petani Pasrah
"Surplus stok di pasar menyebabkan harga anjlok dan merugikan petani cabai. Sebaliknya, ketika musim tanam sudah lewat dan produksi tidak stabil, tidak ada stok yang dapat digunakan untuk menstabilkan harga cabai di pasaran. Akibatnya, harga cabai melonjak naik sehingga merugikan konsumen," terangnya.
Dengan sistem penyimpanan yang modern dan infrastruktur rantai dingin yang memadai, masa simpan cabai dapat diperpanjang dan dengan demikian dapat membantu menstabilkan harga di pasaran.
Selain menjaga kesegaran, penggunaan sistem penyimpanan yang modern dapat membantu Indonesia mengurangi tingkat kehilangan makanan dalam proses distribusi pangan.
Sayangnya, Arumdriya menduga bahwa kapasitas sistem penyimpanan dan lemari pendingin di Indonesia belum memadai untuk menjawab kebutuhan pasar sehingga mengakibatkan masih tingginya tingkat limbah pangan. Hal ini yang juga berkontribusi kepada fluktuasi harga pangan di masyarakat.
Stok cabai yang melimpah di masa panen raya harus langsung dijual, karena kapasitas penyimpanan saat ini hanya mampu mempertahankan kesegaran cabai selama 30 hari.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk berinvestasi pada lemari pendingin yang modern untuk memperpanjang masa simpan stok cabai rawit,” ujar Arumdriya.
Pengembangan dan adaptasi teknologi pendingin dalam sistem distribusi Indonesia membutuhkan peran aktif dan kolaborasi dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Mengingat, harga pangan yang fluktuatif tidak hanya pada cabai sehingga menunjukkan faktor penyimpanan pangan masih terlupakan dalam wacana ketahanan pangan.
Diketahui, dari data produksi aneka cabai nasional pada Juli 2021 mencatatkan, surplus hingga 4.439 ton, dari selisih hasil produksi sebanyak 163.293 ton dan kebutuhan masyarakat sebanyak 158.855 ton.
Baca Juga: Harga Anjlok, Petani Buka Wisata Petik Cabai Untuk Mengurangi Kerugian
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.