JAKARTA, KOMPAS.TV - Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) menanggapi Bank Indonesia yang tengah menggodok pemberlakuan tarif merchant discount rate (MDR) buat uang elektoronik berbasis cip (e-money chip based).
ATI menilai bahwa penerapan tarif MDR tak bisa serta merta menjawab masalah ketidakekonomian bisnis uang elektronik berbasis cip.
“Perlu dikaji secara mendalam bukan hanya dari perspektif ekosistem produk perbankan saja tetapi juga dilihat dari product development, infrastruktur development, dan juga aspek beneficial yang diterima masing-masing pihak,” ujar Sekretaris Jenderal ATI Kris Ade Sudiyono, Minggu (3/1/2021), dikutip dari KONTAN.
Baca Juga: Karena PSBB, Transaksi Uang Elektronik Berkurang
Ia menambahkan, perbankan yang merupakan mayoritas penerbit uang elektronik berbasis kartu ini pun tak bisa cuma didasari atas berapa besar biaya investasi yang dikeluarkan dibandingkan dengan pendapatan yang didapat.
Asal tahu, bisnis pembayaran jalan tol kini memang hanya melibatkan dua pihak yaitu penerbit uang elektronik dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai merchant.
Agar uang elektronik bisa diterima sebagai alat transaksi, penerbit mesti menanggung sebagian biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan BUJT misalnya membangun gardu eletronik, mesin pembaca kartu, dan sebagainya.
Sementara pendapatan penerbit berasal dari dana menganggur (floating money) saldo uang elektronik, maupun komisi isi ulang saldo.
Sebagai informasi, penerbit bisa menempatkan floating money maksimum 70% pada instrumen surat berharga.
Sementara seluruh uang yang ditransaksikan oleh masyarakat pengguna uang elektronik berbasis cip ini akan diterima oleh merchant sepenuhnya.
Kris menilai efisiensi dan kesempatan monetisasi produk uang elektronik seharusnya juga jadi komponen menganalisis biaya dan keuntungan bagi bank penerbit.
“Kegagalan mencapai tingkat keekonomian tak bisa serta merta diselesaikan dengan pengurangan biaya sharing infrastructure, atau malah dibebaskan dengan memasukan biaya tersebut dalam bagian investasi BUJT yang akhirnya dibebankan kepada masyarakat,” ujarnya.
Baca Juga: Siap-Siap! 5 Stasiun KRL Ini Hanya Layani Kartu Multi Trip dan Uang Elektronik
Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Pembayaran Indonesia (ASPI) Djamin Nainggolah menilai asumsi tersebut juga kurang tepat.
Sebab selain membayar biaya kepada BUJT bank penerbit pun mesti mengeluarkan biaya infrastrukturnya mandiri.
“Misalnya untuk membangun kanal isi ulang, swithing, issuer, mesin isi ulang, koneksi sistem. Dengan skema pendapatan dari top up dan loating money biaya operasional bank tidak tertutupi. Dan keberlangsungan bisnis model seperti ini pun tidak akan mendukung ekosistem pembayaran nontunai,“ ujarnya kepada KONTAN.
Makanya ASPI disebut Djamin juga mengusulkan tarif MDR sebesar 0,7-1%. Ini nilai minimum yang dikalkulasi ASPI bisa menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan penerbit.
Adapun sebagai penengah Bank Indonesia mengusulkan tarif MDR di rentang 0,5%-0,6%. Rentang ini dinilai wajar untuk keberlangsungan ekosistem sekaligus memudahkan implementasi kepada masyarakat kelak.
“MDR akan dikenakan berkisar 0,5-0,6% dengan pertimbangan kesinambungan bisnis, efisiensi, dan memudahkan implementasi di masyarakat,” tulis paparan Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Desember lalu.
Mengacu catatan Bank Indonesia, 90% uang elektornik berbasis cip memang dikontribusikan dari pengguna tol. Meski demikian pangsa pasar uang elektronik berbasis cip memang terhitung kecil hanya 9%. Sisanya dikuasai uang elektornik berbasis server.
Sementara sampai Oktober 2020 volume transaksi uang elektornik mencapai 3,781 miliar dengan nilai mencapai Rp 163,433 triliun.
Baca Juga: Pembayaran MRT Bisa menggunakan Uang Elektronik
Diketahui sebelumnya, Bank Indonesia tengah menggodook pemberlakuan tarif merchant discount rate (MDR) buat uang elektoronik berbasis cip. Penerbit uang elektronik yang mayoritas merupakan perbankan bakal dapat pendapatan tambahan dari skema ini. Asal tahu, selama ini bank mesti membayar sejumlah biaya kepada merchant agar uang elektroniknya dapat dijadikan alat pembayaran pada sebuah merchant.
Dari paparan Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia soal asesmen terkait MDR uang elektronik berbasis cip Desember 2020 dijelaskan, misalnya bank mesti embayar sekitar Rp 300 juta per tahun untuk satu ruas jalan tol kepada badan usaha jalan tol (BUJT).
Biaya tersebut dibayar untuk mengganti ongkos infrastruktur yang telah dikeluarkan oleh BUJT. Sementara pendapatan bank dari bisnis ini cuma berasal dari floating money, dan top up fee. Adapun dengan tambahan skema MDR maka bank akan dapat pendapatan tambahan di luar foalting money dan fee top up. Sebab dari ada porsi yang akan didapatkan bank dalam tiap transaksi.
Misalnya mengacu skema MDR pada paltform QR COde Indonesia Standar (QRIS) bank bisa dapat 37% dari persentase MDR. Misal ada transaksi Rp 50.000 yang akan dipotong biaya MDR 1% atau setara Rp 500. Nah bank penerbit akan mendapat jatah senilai Rp 185 dari transaksi tersebut. “Di negara lain uang eetronik berbasis cip juga menggunakan MDR yang bervariasi antara 0,8-2%,” tulis Bank Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.