"Setiap minggu semuanya naik."
Para pelaku usaha telah menaikkan harga produk mereka demi mengimbangi biaya, namun Lopez berkata dia tidak bisa menaikkan harga makanannya terlalu tinggi karena khawatir kehilangan pelanggan.
Dia khawatir kenaikan suku bunga tidak akan membantu, sebab permintaan konsumen tetap lemah karena Covid, yang membatasi pertemuan setelah bekerja yang biasanya mendorong roda bisnisnya.
"Kami hanya akan terus mengelolanya seketat mungkin, berusaha untuk tidak menaikkan harga di luar pasar kami dan berharap semuanya tenang," katanya.
Terakhir kali The Fed menaikkan suku bunga setinggi ini adalah hampir tiga puluh tahun lalu, pada 1994.
Karena lambat bertindak, dan kini bergerak lebih agresif untuk mengejar ketertinggalan, pembuat kebijakan di AS menghadapi potensi bahwa langkah mereka justru menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi, menurut Daco.
"Saya tidak akan terkejut bahwa sekitar pergantian tahun kita menghadapi pertumbuhan [ekonomi] terhenti dan kita cukup dekat dengan resesi, dengan tingkat pengangguran meningkat dan tidak lagi menurun."
Dengan membuat kredit kian mahal, kenaikan suku bunga ini akan memperlambat aktivitas ekonomi, membuat permintaan lesu - dan secara teori, mengurangi tekanan harga.
Proyeksi yang dirilis oleh The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat menjadi sekitar 1,7% tahun ini, lebih rendah dari perkiraan mereka sebelumnya pada Maret.
Tingkat pengangguran yang saat ini sebesar 3,6%, diperkirakan akan meningkat menjadi 3,7% dan mencapai 4,1% pada tahun 2024.
Dengan kenaikan suku bunga terbaru, suku bunga pinjaman yang dikenakan bank akan kembali ke posisi semula pada 2019, atau relatif rendah menurut data historis.
Namun kenaikan suku bunga selama beberapa bulan terakhir, telah terasa dampaknya.
Suku bunga yang lebih tinggi telah membantu meningkatkan permintaan terhadap dolar. Imbasnya, nilai tukar dolar AS naik 10% sejak awal tahun, sedangkan nilai tukar mata uang lain melemah.
Penjualan rumah juga melambat drastis karena suku bunga hipotek mengikuti suku bunga Fed yang lebih tinggi.
Pengumuman kenaikan suku bunga pada Rabu, juga menunjukkan penjualan ritel turun bulan lalu, karena kenaikan harga bensin telah membuat warga AS mengucurkan lebih banyak uang untuk membeli bahan bakar.
Di AS, bensin kini dibanderol dengan harga US$5, atau setara Rp73.000, per galon (setara 3,7 liter).
Para ekonom sempat memperkirakan bahwa Maret 2022 akan menjadi puncak lonjakan harga konsumen. Namun, data pada Mei 2022 malah memperlihatkan lonjakan lagi, dengan kenaikan sampai 8,6 persen dalam 12 bulan terakhir.
Powell berkata, pengendalian kenaikan harga sangat penting untuk stabilitas ekonomi dan akan dibutuhkan waktu untuk memulihkan harga.
"Pada akhirnya, prospeknya sangat tidak pasti," kata Beckworth.
Diakui oleh pendiri dan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini, kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi telah berdampak pada inflasi di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Dia berkata inflasi akan menggerus daya beli masyarakat, sedangkan bagi investor, inflasi akan meningkatkan suku bunga sehingga investasi dan kegiatan bisnis akan terhambat.
Sementara ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menyebut efek kebijakan The Fed akan memberikan dampak sangat berat bagi Indonesia.
"Harga akan terkerek naik. Uang lari ke Amerika, outflow ini juga susah ditebak. Rentetan (dampak kebijakan The Fed ini) akan panjang," ujar Dradjad seperti dikutip dari Kompas.com.
Baca juga:
Respons kebijakan moneter untuk mengurangi inflasi dengan meningkatkan suku bunga acuan, pada akhirnya akan memukul investasi, khususnya foreign direct investment (FDI) ke negara berkembang karena modal akan condong lari ke negara-negara asalnya dan aset yang aman seperti USD.
Peningkatan suku bunga, juga berarti kenaikan biaya pembiayaan yang dapat menghambat investasi karena biaya investasi yang ditimbulkan menjadi besar.
Sementara itu peningkatan inflasi membuat banyak negara dapat mengalami neraca pembayaran yang negatif.
Namun, Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, menegaskan Indonesia memiliki "koordinasi fiskal dan moneter yang kuat" untuk merespons kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi.
Dari sisi fiskal, kata Perry, pemerintah telah meningkatkan subsidi sehingga tidak semua kenaikan harga energi dan komoditas dunia berdampak pada inflasi dalam negeri.
"Pemerintah telah mendapat persetujuan dari DPR untuk menaikkan subsidi, khususunya bagi premium, diesel, listrik, elpiji, dan juga meningkatkan bantuan sosial," jelas Perry.
Sementara harga-harga barang nonsubsidi, seperti Pertalite dan Pertamax, mengalami kenaikan.
Sementara dari sisi moneter, kata Perry, Bank Indonesia turut berpartisipasi dalam pembiayaan biaya kesehatan dan kemanusiaan, dengan membeli SBN senilai Rp224 triliun.
"Kami serahkan pada pemerintah untuk mengalokasikan apakah sebagian juga untuk membiayai subsidi tadi," kata dia.
"Karena koordinasi fiskal dan moneter yang kuat, makanya kenaikan harga energi dan komoditas global tidak berdampak signifikan pada inflasi dalam negeri."
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.