Saat menjalani kelumpuhan sehingga tidak bisa bersekolah, tekanan mental juga menyerangnya.
"Geby sempat down setelah dinyatakan menderita kusta, sementara masyarakat luas pemikirannya berbeda-beda menanggapi kusta. Karena sering ditanya teman-teman, kamu sakit apa, akhirnya Geby sering merasa minder dan malu," ujarnya.
Bagi Uswatun Khasanah, yang pernah menyandang kusta, perasaan itu adalah stigma yang muncul dari diri sendiri. Dan itu yang dia rasakan saat menderita penyakit itu sepuluh tahun lalu.
Seperti Geby, dia juga merasakan gejala-gejala kusta saat masih bersekolah di bangku SMP, diawali dengan bercak-bercak putih di wajah dan tubuhnya. Sempat dikira alergi atau kena gigitan serangga, beberapa bulan kemudian kusta berlanjut melemahkan kondisi Uswatun sebelum akhirnya dirawat.
Stigma dari penyakit itu sudah menyerang dirinya.
"Saya syok, menangis, hampir putus asa. Lalu tidak mau sekolah, tidak mau bergaul. Di situlah timbul stigma diri dulu," ujarnya.
Sayangnya lingkungan pergaulannya dan di sekolah Uswatun saat itu juga tidak mendukung. Pukulan ganda pun menghantam saat muncul stigma dari lingkungannya itu.
"Lalu teman-teman menjauhi dan ada yang mengejek ke saya karena mukanya jadi jelek. Bahkan sahabat saya sendiri yang biasa berteman dan bersenda gurau malah menghindari saya," kenang Uswatun.
"Itu membuat saya jadi malas ke sekolah. Hampir tiga minggu saya tidak bersekolah, karena waktu itu juga sedang sakit berat, tidak bisa jalan, harus istirahat dan mempengaruhi juga motivasi belajar saya saat itu. Stigmanya ke mana-mana."
"Main ke tetangga juga malu. Lalu banyak tetangga saat ke rumah menangis melihat saya berbaring di kamar tidak bisa berbuat apa-apa."
Stigma yang dialami Geby dan Uswatun itu diakui oleh aktivis kusta Asken Sinaga. Salah satu karakter penyakit kusta adalah munculnya stigma, baik dari penderita sendiri maupun di lingkungannya.
"Stigma ini membuat mereka tidak mengakses layanan berobat dan membuat masyarakat mengucilkan mereka, bukannya malah mendorong untuk berobat," kata Asken Sinaga, Direktur Eksekutif NLR Indonesia.
Yayasan yang dipimpin Asken ini membantu penderita kusta melakukan pengobatan, pendampingan hingga pemulihan serta melakukan edukasi penyakit tersebut kepada masyarakat.
Selama mendampingi penderita kusta di beberapa daerah, Asken dan para stafnya menemukan stigma yang berbeda-beda.
"Ada yang bilang kusta itu penyakit kutukan, jadi dijauhi. Ada yang bilang kusta itu akibat santet. Ada yang bilang kusta itu tidak bisa disembuhkan.
Ada yang bilang karena orangtuanya ketika berhubungan intim, ibunya sedang haid sehingga tidak bersih. Jadi stigma-stigma ini yang membuat orang menjauhi," kata Asken.
Hal yang serupa pun dijumpai oleh dokter dan aktivis kusta, dr. Renni Yuniati. Rutin mengobati para pasien kusta di Jawa Tengah, Renni bahkan menyebut kusta merupakan "salah satu penyakit yang paling distigmatisasi di bumi."
"Diagnosis kusta adalah hukuman seumur hidup bagi sebagian orang, sering dianggap sebagai kutukan dari Tuhan dan akibat dari perbuatan dosa.
Banyak penderita kusta diusir dari rumah, komunitas, atau dipaksa meninggalkan pekerjaan mereka dan hidup mengemis," kata Renni yang dikenal sebagai dokter di RS Dr Kariadi Semarang dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Renni mengungkapkan bahwa kemunculan penyakit lewat percikan cairan pernafasan bergantung pada imunitas tubuh seseorang.
"Imunitas tersebut mempengaruhi lama masa inkubasi bahkan tipe penyakit kusta, apakah kering atau basah," ujarnya.
Dia menjelaskan, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta, antara lain: kulit mengalami bercak putih yang lama kelamaan semakin melebar dan banyak.
"Lalu bintil kemerahan yang tersebar pada kulit, kesemutan pada anggota badan atau raut muka berbenjol-benjol dan tegang, dan ada bagian tubuh mati rasa karena kerusakan saraf tepi."
Menurut Renni, gejala kusta sering kali tidak selalu tampak, justru dia mengingatkan agar sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama.
Lama pengobatan kusta tergantung jenis kustanya. "Pada kusta jenis pausibasilar waktu pengobatan selama 6-9 bulan. Namun pada kasus kusta jenis multibasilar waktu pengobatan selama 12 - 18 bulan. Durasi pengobatan dapat bertambah jika terjadi gagal pengobatan atau relaps (kambuh)," ujarnya.
Merujuk pada pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dr Renni mengatakan bahwa orang dengan kusta diobati dengan MDT (Multi Drug Therapy).
Ini adalah kombinasi dua atau lebih obat antilepra di mana salah satunya adalah rifampicin yang merupakan obat bakterisidal kuat. Obat antilepra selain rifampicin bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan bakteri.
"Pengobatan MDT bertujuan untuk memutuskan rantai penularan, mencegah terjadinya cacat atau mencegah kecacatan bertambah parah, memperpendek masa pengobatan, mencegah terjadinya resistensi kuman serta meningkatkan keteraturan berobat," ujar dr Renni.
Namun dia menyatakan bahwa pengobatan MDT tidak mengobati kecacatan yang sudah terjadi.
Selain pengobatan medis, lanjut dr Renni, dukungan dari lingkungan terdekat adalah kunci penyembuhan bagi penderita penyakit kusta.
"Pendekatan keluarga penting diterapkan dalam upaya pencegahan dan deteksi dini penyakit kusta serta pengobatan sesegera mungkin untuk mencegah kecacatan dan memutus mata rantai penyebaran."
Dukungan kuat dari orang tuanya sangat membantu Uswatun selama menjalani pengobatan kusta selama setahun. Semangatnya untuk bersekolah muncul lagi sambil beritikad kuat untuk sembuh.
"Kalau tidak ada mereka, mungkin saya tidak bisa sekuat ini. Mereka yang bisa menenangkan sekaligus juga menyembuhkan.
Melihat kegigihan mereka merawat saya ketika itu sampai bapak tidak bisa menarik becak dan ibu tidak bisa jualan, itu demi mengobati saya selama hampir satu tahun.
Saya berpikir tidak bisa bermalas-malasan dan harus kembali ke sekolah. Ayah saya pun rela mengantar saya dengan becaknya ke sekolah lalu sampai menggendong saya ke ruangan kelas di lantai dua," kenang Uswatun.
Setelah menamatkan pendidikannya hingga menjadi sarjana, Uswatun mengajar sebagai guru di Cirebon dan kini bekerja di Jakarta,.
Kembali ke Nusa Tenggara Timur, dukungan dari keluarga dan teman-teman berhasil memulihkan semangat Geby Ataupah sehingga bisa menamatkan SMA selama masa pengobatan kusta.
"Kalau sampai Geby sia-siakan satu kesempatan ini maka akan terbuang masa depan dan harapan Geby untuk berkembang.
Tapi karena Geby tidak merasa putus asa, walau masih harus merasakan penyakit kusta, Geby tetap melanjutkan sekolah. Bersyukur masih ada teman-teman yang mau menerima Geby."
Sekarang dia dalam tahap penyembuhan dan sudah bisa berjalan lagi. Sambil menjalani masa observasi di rumah sakit selama enam bulan ke depan, Geby membantu mendampingi dan memotivasi sesama pasien kusta.
"Ini adalah suatu usaha yang membuat Geby tetap bertahan hingga hari ini."
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.