KOMPAS.TV - Persaingan menuju pemilu presiden 2024 kian ramai. Sejumlah tokoh mempersoalkan ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi.
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, menguji pasal yang mensyaratkan pencalonan presiden diajukan parpol atau gabungan parpol.
Sebesar 20 persen suara DPR atau 25 persen suara nasional. Ia menunjuk Refly Harun sebagai kuasanya.
Selain Gatot Nurmantyo, ada juga Ferry Juliantono (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra) dan anggota DPD Bustami Zainuddin (Lampung) dan Fachrul Razi (Aceh). Mereka memberikan kuasa kepada Refly Harun.
Menguji pasal ambang batas pencalonan presiden ke MK, bukanlah barang baru. Menurut catatan Refly Harun sebagaimana diberitakan Kompas, sudah ada 13 permohonan uji materi ke MK.
Semuanya ditolak, MK berpendapat, soal legal standing yakni ada tidaknya kerugian konstitusional para penggugat.
Dan kedua, bahwa ambang batas pencalonan presiden adalah open legal policy, terserah kesepakatan para pembuat undang-undang.
Tingginya ambang batas pencalonan presiden mengakibatkan kian sedikitnya capres yang bisa maju dalam pilpres 2024.
Pada Pemilu 2004, ambang batas pencalonan presiden diatur 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara nasional. Ada lima capres yang berkontestasi.
1. Wiranto-Salahuddin Wahid
2. Megawati – Hasyim Muzadi
3. Amien Rais-Siswono Yudo Husudo
4. SBY – Jusuf Kalla
5. Hamzah Haz – Agum Gumelar
Ambang batas dinaikkan dalam pilpres 2009 menjadi 20 persen DPR dan 25 persen suara nasional. Dan ada 3 pasangan kala itu:
1. Pasangan Mega-Prabowo
2. Pasangan SBY-Boediono
3. Pasangan Jk-Wiranto
Pemilu 2014
1. Jokowi – JK
2. Prabowo-Hatta Rajasa
Pemilu 2019
1. Jokowi –Ma’ruf Amien
2. Prabowo-Sandiaga Uno
Dengan ambang batas seperti sekarang, maksimal akan muncul empat pasangan. Dengan catatan PDI-P maju sendiri karena PDI-P adalah satu-satunya partai yang bisa mencalonkan kursi presiden. Namun langkah itu rasanya tidak akan dilakukan.
Kemungkinan besar akan ada tiga pasang capres di 2004.
Dengan sistem tersebut, nama yang berkeinginan maju menjadi capres akan sangat sulit untuk mendapatkan tiket capres. Pilihan capres menjadi sangat terbatas.
Putusan uji materi MK akan menentukan konstelasi politik ke depan. Jika MK konsisten dengan putusan sebelumnya, uji materi itu bisa saja ditolak dengan argumen bawah ambang batas adalah open legal policy.
Apakah ada ruang terbuka uji materi terbuka? Politik Indonesia mengajarkan tak ada yang mustahil.
Suasana kebatinan MK bisa saja berubah. Membaca putusan MK soal uji formil UU Cipta Kerja, terbaca publik ada dinamika baru di MK. Kita tunggu saja.
Jika membaca aspirasi publik yang dijaring lewat Jajak Pendapat Kompas 17-20 Juni 2020, paling tidak mengatakan:
Sebanyak 53,8 persen tetap merasa perlu ambang batas pencalonan presiden. 39,8 responden merasa tidak perlu. Sebanyak 6,4 persen tidak tahu.
Ketika ditanya mengapa perlu ada ambang batas:
43,4 persen responden merasa perlu pembatasan jumlah capres
33,1 persen merasa agar capres punya dukungan politik yang kuat
19,6 persen agar ada koalisi partai sejak awal
Selain soal ambang batas yang perlu dipahami bahwa biaya pemilu presiden yang amat sangat mahal.
Sebuah data menyebutkan, biaya untuk ikut dalam kontestasi pilpres bisa menembus 7 triliun rupiah.
Pasar pemilih perlu juga jadi pertimbangan. Pasar pemilih dan biaya politik harus jadi pertimbangan sebelum maju dalam kontestasi politik.(*)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.