KOMPAS.TV – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mulai menghadirkan lembaga pemasyarakatan (lapas) khusus perempuan sejak 2017.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah memiliki 34 lapas perempuan dan empat rutan yang secara khusus menampung warga binaan pemasyarakatan (WBP) perempuan dan anak-anak.
Pada 2024, jumlah WBP perempuan di Indonesia mencapai 13 ribu. Meskipun jumlah tersebut tidak sebanyak jumlah WBP laki-laki, tetapi WBP perempuan membutuhkan perlakuan khusus terkait kodrat mereka sebagai perempuan.
“Untuk memberikan perempuan ini lebih optimal pemenuhan akan hak reproduksinya ini, maka kita membuat lapas-lapas perempuan yang mungkin disesuaikan dengan kodrati perempuan sebagai makhluk yang mempunyai fungsi reproduksi,” jelas Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan, Y. Ambeg Paramarta.
Pengaturan mengenai hak perempuan dalam lapas sudah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2010, yaitu The United Nations Rules for The Treatment of Women Prisoners and Non Women Offenders atau yang dikenal dengan Bangkok Rules.
Peraturan tersebut memberikan sejumlah aturan bersama yang harus diperlakukan, seperti perempuan hamil, perempuan dengan masalah narkoba, serta perempuan disabilitas di dalam tahanan.
Sementara itu, di Indonesia sudah terdapat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang mengatur secara tegas kebutuhan khusus perempuan.
Untuk memenuhi hak asasi WBP perempuan terkait kebutuhan khususnya, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA).
“Memastikan yang penting kebutuhan layanan dasarnya, mulai dari kesehatannya kemudian juga banyak sekali pendidikan-pendidikan yang kemudian kita siapkan, seperti pendidikan informal untuk menyiapkan mereka. Bahkan program-program pemberdayaan, ini yang kami dorong,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPA, Ratna Susianawati.
Di dalam lapas, WBP perempuan juga mendapatkan pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian.
Pembinaan kemandirian merupakan pembekalan bagi warga binaan mendapatkan pelatihan dan keterampilan agar dapat hidup mandiri setelah keluar dari lapas, sedangkan pembinaan kepribadian bertujuan untuk mengembangkan diri dan menyesuaikan dengan lingkungan.
Indonesia tak sekadar memandang WBP sebagai pelanggar hukum dan pihak yang harus dihukum, tetapi juga memandang mereka sebagai manusia yang berhak mendapatkan kesempatan dan akses untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Inilah yang mendorong negara untuk menyediakan lapas perempuan agar mereka dapat memperoleh hak khusus dan hak lainnya untuk pembekalan hidup, termasuk pendidikan.
Di Indonesia, terdapat lapas yang fokus terhadap pemerataan akses pendidikan serta lapas pertama yang menyediakan kesempatan kuliah bagi WBP perempuan, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Kelas IIA Kerobokan yang terletak di Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali.
LPP Kelas IIA Kerobokan telah berdiri sejak tahun 2017 sebagai salah satu upaya mengatasi kapasitas daya tampung dan pemenuhan hak asasi bagi warga binaan pemasyarakatan perempuan di Bali.
Sebelumnya, lapas perempuan ini menjadi satu dengan lapas Kerobokan dalam satu area pembinaan. Namun, seiring dengan meningkatnya WBP perempuan, maka terjadi pemisahan di lapas Kerobokan.
Saat ini, LPP Kelas IIA Kerobokan menampung 236 warga binaan, salah satu di antaranya adalah ibu hamil dan lima orang bayi. Sebagian besar WBP berada pada usia produktif dengan rentang usia 23-35 tahun dan 70 persen terjerat kasus narkotika.
Dalam membina WBP, LPP Kelas IIA Kerobokan menerapkan program pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian sebagai pembekalan akhlak dan keterampilan untuk mereka agar dapat hidup mandiri setelah keluar dari lapas.
Program pembinaan kemandirian LPP Kelas IIA Kerobokan memberikan berbagai pelatihan keterampilan, seperti tata boga, menjahit, tata rias, dan lainnya. Bahkan, LPP Kelas IIA Kerobokan juga mengajarkan berbagai keahlian, termasuk menari dan melukis, agar WBP lebih produktif.
Lapas ini juga menyediakan akses dan kesempatan pendidikan. Selain itu, LPP Kelas IIA Kerobokan juga bekerja sama dengan komunitas dan relawan menyediakan kursus bahasa Inggris bagi WBP.
Mulai tahun 2024, LPP Kelas IIA Kerobokan merupakan lapas perempuan pertama yang memberikan kesempatan kuliah bagi para warga binaannya secara gratis. Saat ini, terdapat 11 warga binaan pemasyarakatan perempuan yang lolos seleksi dari 50 pendaftar awal yang mendapatkan kesempatan untuk kuliah.
Warga binaan yang telah lulus seleksi ini mengikuti perkuliahan secara blended learning atau pembelajaran secara campuran yang berlangsung tiga kali dalam seminggu, termasuk dengan sistem daring.
Tak hanya akses pendidikan, LPP Kelas IIA Kerobokan juga menyediakan kebutuhan anak WBP secara layak, seperti pojok bermain hingga ruang menyusui.
WBP perempuan yang membawa anak akan diberikan kamar khusus dan tidak dicampur dengan WBP lain yang tidak membawa anak. Selain itu, lapas juga telah memiliki posyandu sendiri sehingga layanan imunisasi secara lengkap dapat diberikan kepada anak. LPP Kelas IIA Kerobokan juga turut memberikan makanan tambahan setiap bulan, termasuk susu dan popok bayi.
Upaya pemenuhan hak asasi bagi para WBP perempuan ini diharapkan dapat menciptakan karakter dan kemandirian bagi mereka.
Esti, mantan WBP LPP Kelas IIA Kerobokan, mengungkapkan bahwa ia telah merasakan pembinaan selama tiga tahun. Kini, ia dapat menerapkan berbagai keterampilan dan pelatihan yang ia pelajari selama di dalam lapas. Bahkan, ia juga menampung mantan WBP lainnya sebagai pekerja.
“Waktu saya ada di sini (lapas), saya dulu banyak mengkoordinir, membuat barang-barang kerajinan, dan itu saya lanjutkan setelah saya keluar. Sekarang saya sudah punya workshop dan punya toko, jadi gift shop juga untuk craft,” tutur Esti.
Tak hanya di LPP Kelas IIA Kerobokan, upaya pemenuhan hak asasi ini juga dilakukan di LPP Kelas IIA Malang, Jawa Timur. Melalui berbagai program untuk pemenuhan hak tersebut, LPP Kelas IIA Malang berhasil menjadi lapas terbaik di Indonesia. Kini, lapas ini menampung 21 WBP perempuan, yang sebagian besar merupakan terpidana seumur hidup.
LPP Kelas IIA Malang juga menjadi salah satu unit pelayanan terpadu pilot project untuk Unit Pelaksana Teknis ramah kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, ibu hamil, lanjut usia, dan anak-anak.
Atas pelayanan terbaik untuk WBP perempuan pada kelompok rentan, LPP Kelas IIA Malang berhasil meraih penghargaan P2HAM atau Pelayanan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia pada tahun 2023.
Kepala LPP Kelas IIA Malang, Yunengsih, mengungkapkan bahwa lapas ini menyediakan berbagai fasilitas untuk mendukung kebutuhan khusus kelompok rentan, seperti klinik dan posyandu. Selain itu, LPP Kelas IIA Malang juga menyediakan berbagai kebutuhan lain, seperti popok bayi, minyak telon, hingga pembalut.
“Jadi berkat dukungan dari stakeholder kami di LPP Malang ini untuk pemenuhan kebutuhan kelompok rentan dan khususnya perempuan bisa kami atasi atau berikan sesuai dengan yang seharusnya kita berikan atau mereka terima,” ujar Yunengsih.
WBP perempuan yang sedang hamil dan pasca melahirkan juga diberikan pendampingan selama berada dalam masa tahanan. Mereka juga diberikan kesempatan merawat anak selama 3 tahun, salah satunya untuk memberikan hak ASI eksklusif dan pengasuhan hingga usia 3 tahun.
Para WBP perempuan yang membawa anak ditempatkan di blok khusus yang berbeda dengan WBP perempuan lainnya agar mereka memiliki keleluasaan dalam mengasuh, merawat, dan juga menyusui anak.
“Di sana ada dokternya yang senantiasa memberikan ya itu, kesehatan reproduksinya, ya kesehatan khusus untuk menyusui ibu hamil, bagaimana menu makanannya, ini semua diatur,” jelas Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Jawa Timur, Heri Azhari.
Pendampingan dan fasilitas layanan khusus bagi kelompok rentan di lapas turut dirasakan oleh D, WBP perempuan LPP Kelas IIA Malang yang sudah memasuki tahun ketiganya. D mengungkapkan bahwa ia memasuki lapas dalam kondisi hamil hingga akhirnya melahirkan.
“Saya di sini dikasih fasilitas khusus ditaruh di ruangan ibu dan anak sendiri, terus fasilitas susu itu dapat jatah setiap bulan sama pampers. Terus imunisasi anak saya juga mulai awal sampai akhir itu lengkap,” jelas D.
Untuk meningkatkan layanan bagi para WBP perempuan, LPP Kelas IIA Malang juga memikirkan dampak psikologi terhadap para WBP perempuan, terutama terkait hubungan dengan keluarga. Hal ini dirasakan oleh FD, WBP perempuan yang harus menjalani hukuman selama 10 tahun.
“Saya ini pidananya lama, inovasinya antara lain kunjungan khusus anak di hari Minggu, minggu ketiga setiap bulannya. Dengan kunjungan khusus anak ini, saya bisa bertemu secara pribadi dengan anak saya tanpa gangguan dari pengunjung lain,” ungkap FD.
Menurut FD, dengan adanya kunjungan khusus anak ini, ia bisa menikmati waktu bersama anaknya.
LPP Kelas IIA Malang juga melakukan kerja sama dengan Balai Latihan Kerja agar warga binaan tak hanya mendapat keterampilan, tetapi mereka juga memperoleh sertifikasi pelatihan sebagai modal hidup mandiri nantinya.
“Keterampilan yang dimiliki atau yang didapat oleh warga binaan kami itu hasil kerjasama dengan instansi pemerintah dan swasta, diantaranya dengan BLK, BLK Singosari, maupun BLK Wonojati, juga dengan dinas koperasi dan perindustrian dan perdagangan Kota Malang dan Kota Batu,” jelas Yunengsih.
“Mereka selain berupaya memberikan skill kepada mereka, berupa keterampilan yang diminati, juga membantu untuk pemasarannya,” lanjutnya.
Kini, lapas bukanlah penjara kelam yang merampas hak-hak WBP untuk memperoleh pendidikan atau hak khusus lainnya, tetapi lapas telah berubah menjadi tempat pembinaan untuk mengayomi agar WBP siap kembali dan dapat diterima kembali oleh masyarakat serta lingkungan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.