JAKARTA, KOMPAS.TV – Bencana alam saat pandemi dinilai perlu perhatian khusus. Pasalnya, lokasi pengungsian dan tindak penyelamatan berpotensi menjadi titik penularan Covid-19 jika tidak disertai protokol kesehatan (prokes).
Untuk itu, diperlukan kerja sama semua pihak dan kesadaran kolektif masyarakat agar dampak bencana alam dapat ditekan. Hal tersebut dikatakan Bupati Bojonegoro, Anna Mu'awanah dalam dialog dari Media Center Forum Merdeka Barat (FMB 9) KPCPEN, Jumat (26/11/2021).
Anna juga menjelaskan bahwa selain bencana alam saat cuaca ekstrim, Bojonegoro juga memiliki risiko bencana industri karena merupakan penghasil migas.
Meskipun angka kejadian bencana alam terus berkurang hingga tahun ini, jelas Anna, upaya mitigasi dan sosialisasi tetap harus digencarkan.
“Dengan kita siaga, selalu melakukan pengecekan, sosialisasi, simulasi, maka masyarakat akan tenang (tidak panik) dan ikut bersiaga,” kata Anna.
Melalui koordinasi dengan pihak-pihak terkait, pemda setempat berupaya melakukan langkah mitigasi yang dimaksud. Sedangkan sosialisasi, sambungnya, merupakan kewajiban agar masyarakat selalu sadar dan peduli dengan perubahan di lingkungannya.
Dengan data yang sudah saling terhubung, sosialisasi juga dapat dijalankan melalui media digital dan media sosial.
“Dengan kita siaga, selalu melakukan pengecekan, sosialisasi, simulasi, maka masyarakat akan tenang (tidak panik) dan ikut bersiaga,” lanjut Anna.
Baca Juga: Hambat Penanganan Covid-19, Kemkominfo Gencarkan Upaya Pemutusan Informasi Hoaks
Regulasi tentang santunan bencana juga disiapkan sebagai salah satu solusi pemulihan bagi masyarakat terdampak.
“Kebencanaan pasti ada, karena berbagai perubahan iklim dan kendala di lapangan. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan kesiapsiagaan, mitigasi dini untuk dapat mencegah korban, terutama korban jiwa,” tegas Anna.
Selain Bojonegoro, salah satu wilayah yang rawan bencana alam lainnya adalah Sumatera Selatan (Sumsel).
Menurut Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumsel, Achmad Rizwan, bencana alam tersebut berupa kebakaran lahan dan hutan, juga banjir dan tanah longsor yang dapat terjadi hampir setiap tahun.
Upaya mitigasi yang telah disiapkan, antara lain pemanfaatan teknologi aplikasi guna mengatasi bencana secara dini, pembuatan tanggul penahan air, posko-posko, alat berat, juga jembatan darurat di titik rawan bencana.
Tidak bisa dimungkiri, kata Achmad, bahwa bencana alam saat situasi pandemi memunculkan tantangan tersendiri.
Karena itu, selain kesiapsiagaan bencana, pihaknya selalu melakukan sosialisasi terkait Covid-19 dan penerapan protokol kesehatan, meskipun saat ini situasi pandemi di wilayahnya sangat landai.
“Kesiapsiagaan bencana sudah dilakukan baik secara personel maupun peralatan. Seluruh masyarakat, stakeholder, pemerintah, dan swasta dilibatkan dalam satu sistem sehingga bencana dapat dihadapi saat terjadi. Kemudian juga edukasi perilaku masyarakat agar mereka sadar dan mengetahui bagaimana tindakan saat bencana terjadi,” papar Achmad.
Kepala Pusat Meteorologi Publik, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Fachri Radjab menggarisbawahi bahwa kesiapsiagaan bencana harus selalu dijalankan, karena potensi bencana alam selalu ada sepanjang tahun di Indonesia.
Baca Juga: Tantangan Pendidikan di Masa Pandemi, Kemenag: Kunci Pemulihan Pendidikan adalah Guru
“Bencana yang paling sering terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, mencapai 98 persen,” jelasnya.
Pada musim penghujan, ujarnya, terdapat potensi bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. Sementara, hujan lebat serta puting beliung terjadi saat peralihan musim, kebakaran hutan dapat terjadi saat musim kemarau.
Untuk saat ini, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki periode musim penghujan dengan puncaknya diperkirakan pada Januari-Februari tahun depan.
Fachri menyebutkan, sebagai dampak La Nina pada akhir tahun, diperkirakan intensitas curah hujan juga akan meningkat di beberapa wilayah, di antaranya sebagian Sumatera, Jawa, Bali, NTB, Indonesia Timur seperti Sulawesi.
“Tahun ini dan tahun lalu tantangannya makin besar karena berada di masa pandemi. tentu langkahlangkah harus lebih cermat,” tegas Fachri.
Hal ini seperti, area pengungsian harus dikondisikan dengan penerapan protokol kesehatan, begitu pula dalam kegiatan evakuasi dan penyelamatan warga terdampak.
Dalam hal ini, jelas Fachri, peran BMKG untuk siap siaga bencana berada pada sisi hulu sebagai pemberi informasi dan peringatan dini.
“Informasi dari kami digunakan untuk menyusun kesiapsiagaan lebih lanjut,” tuturnya.
Tidak berhenti di situ, Fachri juga menyebutkan bahwa BMKG juga melakukan langkah-langkah guna meningkatkan kemanfaatan informasi yang ada.
Misalnya, dengan sosialisasi langsung kepada masyarakat bagaimana memahami informasi tersebut dan tindakan apa yang harus dilakukan.
Selain itu, tersedia layanan informasi cuaca berbasis dampak yang dapat diakses melalui https://signature.bmkg.go.id/. Melalui pemantauan aktif dan media sosial resminya, BMKG juga berupaya menangkal hoaks agar tidak meresahkan masyarakat.
Fachri menegaskan, seluruh upaya dilakukan guna mengurangi risiko saat bencana terjadi. Kepada masyarakat, ia mengimbau perlunya kesadaran kolektif bahwa kita hidup dan tinggal di wilayah yang rawan bencana.
Kesadaran tersebut juga harus diimplementasikan dalam sikap dan perilaku keseharian, misalnya, dengan sikap ramah lingkungan. Ia menekankan, BMKG mendukung dari sisi informasi potensi siap siaga.
Namun, butuh upaya dari sisi hilir untuk menggunakan informasi tersebut sebagai rujukan sehingga dapat bermanfaat lebih baik
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.