Menelisik sebuah hadits dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab, hadits ke-48 yang berbunyi,
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: (1) jika berkata, berdusta; (2) jika berjanji, tidak menepati; (3) jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; (4) jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal Pimpinan Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Jogjakarta menjelaskan dalam sebuah artikel bahwa Munafik atau nifak adalah perbuatan di mana seseorang hanya akan menampakkan sisi baiknya saja, dan menyembunyikan sisi buruknya. Secara bahasa, nifaq (kemunafikan) termasuk dalam pengelabuan dan makar. Sudah jelas, orang yang memiliki sifat munafik ini berbahaya.
Menurut istilah syari, nifaq (kemunafikan) ada dua macam:
1. Nifaq Akbar (Kemunafikan besar), yaitu menampakkan keimanan (yaitu beriman kepada Allah, malaikat, kitab suci, para rasul, dan hari akhir), lalu menyembunyikan kekafiran, bisa jadi kekafiran secara total (tidak beriman sama sekali), atau tidak mengimani sebagian. Kemunafikan jenis pertama inilah yang ditemukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Qur’an diturunkan untuk mencela orang munafik jenis ini, bahkan Al-Qur’an mengafirkan mereka. Al-Qur’an pun menyebutkan bahwa pelaku jenis ini berada pada dasar paling bawah dari neraka.
2. Nifaq Ashgar (Kemunafikan kecil), itulah nifaq al-‘amal (kemunafikan amalan), yaitu menampakkan diri saleh, padahal keadaan batin tidak seperti itu.
Al-Hasan Al-Bashri sampai menyebut orang yang tampak padanya sifat kemunafikan dari sisi amal (bukan i’tiqod atau keyakinan), maka ia disebut munafik. Sebagaimana ada perkataan Hudzaifah dalam hal itu. Seperti ada perkataan Asy-Sya’bi semisal itu pula,
“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:493)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih pendapat tentang wajibnya memenuhi janji. Ada yang mengatakan wajib. Ada yang menyatakan wajib secara mutlak. Inilah pendapat dari ulama Zhahiriyah dan semisalnya. Di antara mereka ada yang menyatakan wajib memenuhi janji jika pihak yang diberi janji merasa rugi.
Diantara sifat munafik itu adalah Jika berdebat, ia fujuur, artinya sengaja keluar dari kebenaran, hingga kebenaran menjadi suatu kebatilan dan kebatilan menjadi suatu kebenaran. Jika seseorang punya kemampuan berdebat lalu ia membela kebatilan sehingga membuat kebatilan itu tampak benar bagi yang mendengarkan, ini adalah sejelek-jelek keharaman, dan perangai munafik yang paling jelek.
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan, “Melanggar setiap perjanjian itu haram baik perjanjian dengan sesama muslim atau dengan non-muslim. Termasuk dalam hal ini, tidak boleh mengkhianati perjanjian dengan non-muslim.
Al-Hasan Al-Bashri berkata,
“Orang yang khawatir terjatuh pada kemunafikan, itulah orang mukmin. Yang selalu merasa aman dari kemunafikan, itulah senyatanya munafik.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:491)
Semoga Allah menyelamatkan kita dari sifat munafik.
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.