KLATEN, KOMPAS.TV – Kepulan asap tipis yang meliuk-liuk dari pedupaan memunculkan aroma harum yang khas. Wanginya menyebar di antara sejumlah pemuda dan pemudi yang duduk di sejumlah kursi.
Pagi itu, Minggu (1/12/2024), sejumlah pemuda dan pemudi bersama orangtua mereka hadir di Pura Candi Untoroyono, Pedan, Klaten Jawa Tengah.
Mereka mengikuti upacara Manusia Yadnya berupa potong gigi atau pangur dan melukat atau ruwatan massal di tempat itu.
Sejak pagi, sebelum pukul 07.00 WIB, sejumlah orang telah berjibaku dengan uba rampe pelaksanaan upacara tersebut. Beberapa perempuan berkebaya putih terlihat menyiapkan sesaji di atas meja. Beberapa pria juga sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Lantunan gending Jawa terdengar jelas namun tidak bising, menemani siapa pun yang hadir di pura itu.
Satu persatu umat Hindu yang akan mengikuti kegiatan itu tiba di lokasi. Sebagian besar mengenakan kebaya atau pakaian berwarna putih.
Romo Rsi Hasto Dharmo Telabah yang akan memimpin upacara itu, duduk di kursi sambil menunggu umatnya datang. Jenggotnya panjang menjuntai hingga ke dada.
Baca Juga: Berita Foto Pemotongan Gigi atau Pangur dan Melukat Massal di Klaten
Sekitar 30 menit kemudian, hampir semua sesaji dan uba rampe telah siap. Beragam buah-buahan dan hasil bumi tertata rapi di atas meja, lengkap dengan dupa yang menyala bersama kepulan asap yang mengiringi.
Sang resi memulai upacara dengan merapalkan puja. Mengenakan jubah hitamnya, Ia duduk di hadapan sesaji. Membaca doa sambil membunyikan dua lonceng yang dipegangnya.
Sesekali ia meletakkan lonceng, lalu jemarinya meraih kembang dan memercikkan air ke peralatan yang akan digunakan untuk memotong gigi atau pangur. Kikir, pahat, dan palu kayu berukuran kecil menjadi alat untuk memotong empat gigi taring.
Dalam kepercayaan agama Hindu, upacara potong gigi merupakan kewajiban saat anak beranjak dewasa atau telah remaja.
Secara simbolis, upacara memotong gigi dilakukan untuk menghilangkan sifat raksasa dalam diri manusia. Sifat raksasa tersebut dilambangkan dengan empat gigi taring.
“Tujuannya itu gini, kita ada syarat yang dipotong adalah empat gigi taring, utamanya itu. Empat gigi taring itu kan menyimbolkan jiwa raksasa. Makanya gigi taring itu diasah supaya sifat raksasanya hilang,” kata ketua pelaksana upacara tersebut, I Gusti Gede Hendrata Wisnu.
Upacara Manusia Yadnya merupakan rangkaian yang dilakukan sejak manusia berada dalam kandungan sebagai daur hidup. Mulai sejak manusia berada di dalam perut, kemudian lahir, dilanjutkan lagi dengan upacara tiga bulanan, hingga pada tahap upacara potong gigi saat beranjak dewasa.
“Tapi khususnya di Jawa ini, potong gigi belum menjadi kebiasaan. Kita mencoba membiasakan.”
“Kalau Umat Hindu yang ada di Pulau Dewata sana, sudah melekat menjadi satu bahwa daur hidup itu harus dilalui, harus ada upacara potong gigi. Biasanya sebelum dia menikah,” tambahnya.
Saat ini, kegiatan potong gigi telah banyak dilakukan untuk estetika, namun tidak dilakukan dengan upacara atau ritual. Oleh sebab itu, pihaknya berniat untuk mengembalikan tradisi pangur tersebut.
“Kalau di Jawa mereka lebih mengerti bahwa namanya itu pangur. Belakangan kan sudah bergeser untuk kosmetik, nggak ada upacaranya. Saat ini kita mencoba potong gigi ala Jawa, kita bangkitkan lagi,” tuturnya.
Upacara hari itu diikuti oleh sekitar 60 peserta. Mereka berasal dari sejumlah daerah di Jawa Tengah, khususunya Klaten.
Meski upacara potong gigi sebenarnya merupakan kewajiban bagi Umat Hindu, Wisnu menyebut ada kendala jika harus dilakukan rutin setiap tahun.
Pertama, jumlah Umat Hindu di Klaten yang ada di kisaran 12 ribu orang. Ia menyebut, jika setiap tahun dilaksanakan, maka semakin hari akan semakin sedikit pesertanya.
“Ini yang kedua sebenarnya, yang petama tahun 2006. Kendalanya kalau diadakan setiap tahun, kan umat Hindu tidak terlalu banyak meskipun Umat Hindu terbesar di Jawa Tengah itu ada di Klaten, sekitar 12 ribu orang.”
“Kesadaran untuk potong gigi umat di Jawa ini belum terbiasa, tidak seperti di Bali. Kalau di Bali kan sudah harus,” tuturnya.
Rapal puja dan doa dari bibir sang resi tak lagi terdengar. Seluruh peralatan dan uba rampe upacara telah selesai didoakan dan diberi restu.
Satu per satu peserta pangur memasuki ruangan tanpa pintu di depan gerbang pura sambil membawa kelapa gading muda.
Tiga tempat tidur pun telah disiapkan untuk mereka. Tiga nampan berisi sesaji tertata rapi di bawah masing-masing tempat tidur. Sesaji lain diletakkan di meja samping tempat tidur.
Sebelum memulai upacara pemotongan gigi, masing-masing pemuda dan pemudi tersebut meminta restu pada orang tua mereka. Mereka jongkok di depan kursi tempat duduk orang tua masing-masing.
Kemudian dengan tangannya, mereka membasuh kaki orang tua dengan air kembang. Lalu dilanjutkan dengan berdoa dan naik ke tempat tidur untuk proses pemotongan gigi.
Dalam proses pangur, para peserta diminta untuk berbaring sambil membuka mulutnya. Petugas pemotong gigi kemudian mengikir dan memotong gigi taring mereka menggunakan kikir dan pahat kecil.
Setelah itu, para peserta diminta berkumur menggunakan air kelapa gading muda yang telah dituangkan ke dalam gelas. Lalu, melakukan proses pemotongan berikutnya.
Usai pelalksaaan pangur, para pemuda dan pemudi tersebut diarahkan menuju lokasi siraman dengan air kembang di sudut kanan depan pura.
“Upacara Manusia Yadnya itu maksudnya memanusiakan manusia, sehinga dia utuh menjadi manusia yang pantas hidup di bumi dengan sifat-sifat manusia, bukan sifat keraksasaan,” kata Romo Dewa Ketut Suratnaya, Wakil Sabha Walaka di Bidang Keagamaan dan Ritualitas Hindu Pusat.
Upacara potong gigi dilakukan saat umat Hindu memasuki masa akil balig atau remaja, sebagai rangkaian dari Manusia Yadnya, memanusiakan manusia.
Baca Juga: Toleransi, Umat Hindu Berbagi Takjil Gratis di Bulan Ramadan
“Begitu dia masuk remaja, akil balig itu, saat suara mulai besar untuk laki-laki dan datang bulan untuk wanita, barulah kita pangur.”
“Pangur (ala) Jawa ini betul-betul kita gunakan memang betul-betul Jawa karena kita lakukan di tanah Jawa, yang memandu juga resi Jawa, yang membuat sesajinya juga orang Jawa,” jelasnya.
Bukan sekadar upacara keagamaan, upacara ini juga bertujuan untuk mengembalikan budaya yang ada di masyarakat Jawa, yang tujuannya memanusiakan manusia.
Setelah pelaksanaan pangur, para peserta melanjutkan dengan upacara melukat atau ruwatan, yang dilakukan secara massal. Tujuan dari ruwatan tersebut adalah menghindari musibah dan kesialan.
“Rangkaian acaranya, pertama, sang resi memuja dan mempermaklumkan pada alam bahwa ada acara ini.”
“Kemudian peserta yang akan pangur harus sungkem dulu pada orang tuanya, harus minta restu dulu dari orang tua. Setelah itu baru dipangur,” tambahnya.
Setelah pangur mereka kemudian melaksanakan melukat, diawali dengan siraman atau penyiraman air kembang yang sudah didoakan oleh sang resi.
“Air kembang yang sudah diaktifkan oleh resi, diaktifkan artinya dia sudah berisi energi.”
“Ini memang lebih sederhana, termasuk sesajinya. Semua bisa membuat sesajinya, kalau di Bali nggak, harus ada ahlinya,” tambahnya.
Mengenai waktu pelaksanaan upacara ini, ia menyebut tidak ada waktu-waktu khusus atau waktu tertentu. Artinya, bisa dilakukan setiap saat.
Meski demikian, ada waktu yang dianggap baik, yakni setelah bulan gelap hingga puncaknya saat bulan purnama. Sedangkan waktu yang dianggap kurang bagus adalah sehari setelah bulan purnama hingga bulan gelap.
Ia menjelaskan, upacara Mausia Yadnya memiliki beberapa tahapan, dimulai saat manusia dalam kandungan, prosesi tujuh bulnan, pemberian nama setelah 12 hari kelahiran, penyucian diri saat berusia 42 hari, hingga ke tahap pangur.
“Terkait dengan acara hari ini, yang pertama, nuansa secara umum ini total Jawa. Sederhana saja, ini tanah Jawa, orang Jawa tinggal di tanah Jawa, makan minum dari Pulau Jawa, maka dia (upacaranya) harus Jawa banget”.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.