TEMANGGUNG, KOMPAS.TV - Suara mesin penggiling daun tembakau terdengar samar dari sisi depan bangunan, seiring aroma khas tembakau yang menyusup memasuki rongga indra penciuman.
Delapan perempuan duduk menghadap beberapa meja di ruang depan tempat itu. Mereka terlihat bergeming dari tempat duduknya. Hanya jemari masing-masing bergerak lincah sesuai dengan tugas mereka.
Suara mesin penggiling yang cukup keras tidak mengganggu konsentrasi mereka, bahkan perempuan yang duduk berdekatan tampak asyik bercengkrama sambil memasukkan batang-batang cerutu ke dalam plastik.
Meski berada di satu ruangan yang sama, tugas mereka berbeda-beda. Sebagian memasukkan batang cerutu ke dalam plastik dan mengelemnya menggunakan pemanas bertenaga listrik.
Sementara, sejumlah perempuan lain bertugas menempelkan merek cerutu pada bagian bawah, hanya sekitar satu atau dua sentimeter dari pangkalnya.
Sedangkan yang lain memiliki tugas memotong pangkal dan ujung cerutu yang belum dikemas, sesuai dengan ukuran standar yang dimiliki.
Di ruangan tersebutlah proses finishing pembuatan dan pengemasan cerutu buatan Pabrik Rizona dilakukan.
Hanya beberapa meter dari ruangan itu, terdapat dua ruangan lain yang merupakan tempat produksi. Namun, sebelum memasuki ruangan produksi dan penggilingan, ada enam meja yang masing-masing ditempati oleh seorang perempuan.
Mereka bertugas melinting dan memotong cerutu-cerutu yang diproduksi. Tepat di belakang mereka terdapat halaman tempat menjemur tembakau dan cerutu yang sudah dilinting.
Pabrik cerutu rumahan itu terletak di Jalan Diponegoro, Gendongan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dan berusia lebih dari satu abad, tepatnya didirikan pada tahun 1908.
Meski telah berdiri lebih dari satu abad, hampir seluruh pengerjaan pembuatan cerutu di tempat itu dilakukan secara manual, mulai dari pemotongan daun tembakau, melinting, hingga pengemasan.
“Kalau berdirinya, pabrik cerutu Rizona ini sudah lebih dari seratus tahun, sekitar tahun 1908,” kata seorang perempuan muda bernama Siti Safaroh, staf admin pabrik cerutu tersebut, Selasa (5/12/2023).
Saat ini, pabrik tersebut dikelola oleh generasi ketiga dari pendirinya.
Meski membenarkan bahwa pabrik cerutu tersebut sudah berusia lebih dari seabad, ia mengaku tidak terlalu mengerti sejarah berdirinya pabrik itu.
Ia kemudian menunjukkan dan menyilakan untuk melihat ruang penggilingan tembakau dan tempat produksi cerutu. Kedua ruangan ini terletak bersebelahan.
Suara mesin penggiling terdengar semakin jelas saat memasuki ruang penggilingan. Tiga perempuan paruh baya terlihat sedang bekerja di ruangan itu.
Satu wanita duduk menghadap mesin penggiling. Pada tangan kanannya tergenggam sebatang bambu yang digunakan untuk mendorong daun-daun tembakau kering ke dalam mesin.
Di bagian bawah mesin tersebut diletakkan semacam baskom berukuran cukup besar, yang berfungsi menampung serpihan daun tembakau.
Sementara dua wanita paruh baya lainnya bertugas menapis dan memisahkan tulang daun tembakau dari rajangan daun.
“Tembakau yang akan digiling harus dijemur terlebih dahulu. Setelah dijemur, digiling, kemudian daun yang bagus itu tulangnya dipisahkan dan digunakan untuk kulit,” kata Safaroh menjelaskan.
“Yang rajangan tadi dimasukkan sebagai isi.”
Serpihan daun tembakau yang sudah terpisah dari tulang daunnya kemudian dikumpulkan dalam satu kardus besar, yang nantinya diambil alih oleh karyawati lain yang bertugas melinting.
“Sejak pabriknya berdiri, di sini memang khusus memproduksi cerutu,” kata Safaroh.
Seluruh pekerja di pabrik tersebut berjenis kelamin wanita, dan sebagian besar dari mereka sudah berusia paruh baya.
Hal itu juga yang menurut Safaroh menjadi pertimbangan pabrik tempatnya bekerja tetap menggunakan peralatan manual, yakni keterbatasan kemampuan para pekerja.
Namun, alasan tetap menggunakan peralatan manual bukan hanya karena faktor usia pekerja saja, tetapi juga untuk mempertahankan kualitas produksi dan rasa cerutu.
“Sampai sekarang masih pertahankan hand made? Karena pekerjanya banyak yang sepuh (lanjut usia).”
Saat ini, jumlah pekerja di pabrik cerutu tersebut sebanyak 35 orang, dengan beberapa jenis pekerjaan, mulai dari pemilihan daun, ngamberi atau melinting, hingga mengemas.
Khusus untuk pegawai yang bertugas melinting, jumlahnya ada delapan orang. Masing-masing pelinting dapat memroduksi antara 300 sampai 500 batang per hari.
“Hand made ini juga lebih menarik dan mempertahankan rasa. Per hari per orang bisa menghasilkan 300-500 linting.”
Ruang produksi tempat melinting cerutu tersebut berukuran tidak terlalu luas. Ada beberapa meja dan kursi di tempat itu, serta satu alat press manual yang berada dekat tembok bagian belakang.
Satu cermin berukuran kecil tertempel di dinding ruangan, tepat di samping salah satu meja produksi.
Sedikit berbeda dengan ruangan sebelahnya yang digunakan untuk menggiling tembakau, di tempat ini sesekali masih terdengar para pekerja berbincang.
Meski demikian, mereka melakukannya dengan terus berproduksi. Jemari para perempuan itu lincah menata lembaran daun tembakau di atas meja, kemudian mengisinya dengan tembakau rajangan yang lebih halus.
Sesekali mereka memercikkan air ke lembaran daun tembakau, supaya lembaran itu menjadi lebih lemas dan memudahkan mereka melinting.
Lembaran daun tembakau yang digunakan sebagai kulit atau pembungkus merupakan tembakau dengan kualitas lebih bagus daripada isinya.
“Lambarannya dipilh dulu, yang (kualitas) bagus buat luar, yang (kualitas) biasa digiling untuk isi cerutu,” kata Safaroh.
“Sebelum melinting, tembakau kulit dibasahi agar lemas dan tidak sulit dalam melinting. Setelah itu dilem pakai lem tepung kanji,” ujarnya.
Lembaran tembakau yang sudah dilinting dan berbentuk cerutu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam semacam alat press yang disebut klakaran.
Alat tersebut berupa dua batang balok kayu yang disusun, dengan bagian tengahnya terdapat beberapa celah melintang seukuran cerutu.
Setelah cerutu-cerutu itu dimasukkan ke dalam alat tersebut, pekerja yang melinting kemudian membawanya ke alat press yang ada di ruangan, lalu menekannya (press) selama 15 hingga 20 menit.
“Setelah digulung kemudian dimasukkan ke dalam alat press, namanya plakaran. Nanti dipress antara 15 sampai 20 menit, setelah itu dilambari lagi.”
“Setelah itu disortir lagi, yang bagus dijemur dan dipacking,” kata Sasfaroh.
Meski sama-sama melinting dengan alat manual, ada perbedaan antara proses melinting di ruang produksi dengan pelinting di luar ruangan.
Proses pelintingan di ruang produksi murni menggunakan jemari tangan para pekerja, sedangkan yang di luar ruangan mereka menggunakan alat pelinting manual yang disebut amberi.
Kualitas dan harga cerutu yang dilinting menggunakan tangan lebih bagus daripada yang menggunakan amberi.
Setelah seluruh proses pelintingan selesai, selanjutnya cerutu-cerutu itu masuk ke tahap pemotongan dan pengemasan.
“Setelah itu dibanderol dulu baru dipasarkan.”
“Pemasarannya di Temanggung, Jakarta, Bandung. Bahan bakunya dari Jawa Timur tapi ada juga dari Temanggung, kalau ngggak salah tembakau Kedu,” ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.