JAKARTA, KOMPAS.TV - TransJakarta berencana menerapkan tarif berdasarkan domisili atau KTP penggunanya serta berdasarkan status ekonomi penumpang. Nantinya, tarif untuk warga DKI dan warga daerah penyangga akan berbeda, begitu juga tarif untuk masyarakat yang mampu dan yang tidak mampu.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai, kebijakan itu tidak tepat dan tidak efektif. Pasalnya, Jakarta adalah kota yang terbuka sehingga tidak mudah untuk memilah mana warga Jakarta dan mana yang bukan, dalam penggunaan transportasi umum sehari-hari.
Dengan adanya pembedaan tarif seperti itu, Trubus mengatakan masyarakat mampu akan kembali naik kendaraan pribadi.
Baca Juga: Tarif Baru TransJakarta Sesuai KTP: Agar Subsidi APBD DKI Tepat Sasaran, Kartu Hilang Saldo Aman
"Kalau begitu nanti yang naik TransJakarta warga yang masuk DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) saja. Dampaknya yang menengah atas enggak mau naik kendaraan umum," kata Trubus saat dihubungi Kompas.tv, Rabu (27/9/2023).
Selain itu, masyarakat juga belum tentu mau untuk membuka data pribadi mereka kepada TransJakarta. Sebagai informasi, sistem harga tiket yang nanti diterapkan adalah sistem tiket berbasis akun (account based ticketing/ABT).
Dengan sistem tiket ABT, data pengguna akan terintegrasi di aplikasi Jaklingko dengan kartu tiket transportasi.
Trubus menyarankan, TransJakarta lebih baik mengoptimalkan bus gandeng nya untuk membagi kelas penumpang.
"Misal di bus gandeng yang bagian depannya, dibikin yang bagus fasilitasnya tapi tarifnya lebih mahal. Nah di bagian belakangnya, harganya tetap Rp3.500 dan fasilitasnya juga biasa saja," kata Trubus.
Baca Juga: Minta LRT Diteruskan ke Bogor, Jokowi: Sekarang Penuh Terus
"Masyarakat bebas memilih tapi yang penting asas keadilan sudah terpenuhi. Yaitu sama-sama sampai tujuan pada waktu yang sama," ujarnya.
Begitu juga dengan LRT dan MRT bisa diterapkan konsep serupa. Trubus bilang, TransJakarta bisa mencontoh konsep kereta api jarak jauh. Di mana dalam satu rangkaian kereta ada gerbong eksekutif dan ekonomi yang fasilitasnya berbeda, tapi waktu tempuhnya sama.
Ia meyakini konsep seperti itu bukan bentuk diskriminasi terhadap masyarakat. Asalkan sosialisasinya dilakukan secara masif dan baik.
"Jadi nanti masyarakat yang bayar lebih ini, dipakai untuk mensubsidi yang Rp3.500. Karena memang tak dipungkiri subsidi transportasi umum cukup membebani Pemprov DKI. Subsidi selalu eror, jumlah yang dilaporkan beda dengan jumlah yang ada di lapangan," ujarnya.
Baca Juga: KA Cepat Jakarta-Bandung Pakai Teknologi Huawei, dari Sistem Komunikasi sampai Penjualan Tiket
Kata Trubus, langkah TransJakarta membedakan tarif itu juga sebagai persiapan Jakarta kehilangan status Daerah Khusus Ibu Kota. Dengan begitu, Jakarta juga akan kehilangan subsidi khusus dari pemerintah yang sebelumnya dinikmati karena berstatus Ibu Kota Negara.
Senada, Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi B Taufik Azhar mengatakan kini Jakarta perlu menstabilkan ekonominya. Pada 2024 nanti, Jakarta statusnya berubah dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Namun ia menyatakan setuju dengan rencana TransJakarta menerapkan tarif berdasarkan domisili atau KTP penggunanya serta berdasarkan status ekonomi penumpang.
"Kalau saya sih dalam hal ini setuju-setuju saja. Karena kita tidak bisa terus mengandalkan penambahan dana subsidi kewajiban layanan publik (public service obligation/PSO)," kata Taufik seperti dikutip dari Antara, Rabu (27/9).
Baca Juga: Jelang Pengumuman AGT 2023, Putri Ariani Pamer Foto Bareng Simon Cowell Pemberi Golden Buzzer
Menurut Taufik, PSO sudah seharusnya tepat sasaran sehingga perlu dibedakan tarifnya bagi setiap pelanggan.
"Kita butuh moda transportasi yang lebih baik, polusi udaranya juga menghilang, itu yang kita harapkan," ucapnya.
Meski demikian, Taufik mengatakan usulan terkait kenaikan tarif TransJakarta sesuai status ekonomi dan domisili penumpang belum dibahas di tingkat DPRD.
Selain di TransJakarta, sistem tiket berdasarkan domisili ini nantinya juga akan diterapkan di MRT dan LRT.
Adapun tujuan penerapan tiket berbasis akun ini agar subsidi tiket yang digelontorkan di tiga mode transportasi publik milik DKI Jakarta lebih tepat sasaran.
Baca Juga: Kronologi Perempuan Tewas di Lobi Apartemen Kawasan Central Park, Polisi Masih Dalami Motif Pelaku
Saat ini, tarif subsidi diterapkan untuk seluruh masyarakat yang menggunakan LRT, MRT dan TransJakarta, baik warga ber-KTP DKI maupun non-DKI.
Pengoperasian TJ, MRT, dan LRT memerlukan biaya total sekitar Rp7 triliun dalam setahun. Pemerintah Provinsi DKI tiap tahun mengeluarkan biaya dalam bentuk PSO sekitar Rp4 triliun agar biaya tiket terjangkau.
Sumber : Kompas.tv, Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.