BALI, KOMPAS.TV- Umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan pada hari ini, Rabu (2/8/20230).
Hari Raya Galungan diperingati setiap enam bulan sekali atau 210 hari sekali berdasarkan Kalender Saka Bali, tepatnya pada Rabu kliwon wuku dungulan.
Seperti hari suci lainnya, Hari Raya Galungan memiliki makna mendalam dan sakral bagi umat Hindu.
Rangkaian acara Hari Raya Galungan pun digelar secara hikmat.
Dikutip dari jurnal berjudul Upacara dan Makna Filsofis Hari Raya Sugian Jawa dan Sugian Bali karya Wayan Musna, galungan merupakan salah satu upacara untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad.
Masyarakat Hindu percaya, apabila galungan tidak dilaksanakan, akan datang sebuah musibah.
Berikut ini fakta menarik Hari Raya Galungan dan makna di dalamnya.
Baca Juga: 55 Twibbon dan Ucapan Hari Raya Galungan dan Kuningan 2023 dalam Bahasa Bali dan Indonesia
1. Makna Hari Raya Galungan
Makna Hari Raya Galungan adalah kemenangan umat manusia dalam mengendalikan dirinya. Galungan berasal dari kata galung, artinya perang atau pertarungan.
Sementara Hari Raya Galungan jatuh pada wuku Dungulan, yang berarti menang.
Dapat disimpulkan, galungan dan dungulan adalah perang serta menangnya manusia dari godaan para bhuta tiga atau kala tiga.
Pertarungan melawan bhuta tiga tersebut dimulai dari Minggu dungulan sampai Selasa dungulan.
Kemudian, puncak kemenangannya diperingati pada Rabu dungulan yakni Hari Raya Galungan.
Perwujudan bhuta atau kala tersebut adalah hawa nafsu manusia.
Menurut kepercayaan umat Hindu, perwujudan hawa nafsu manusia terbagi menjadi tiga kala.
Tiga kala tersebut yakni, kala amangkutat (nafsu ingin berkuasa), kala dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain), dan kala galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara).
2. Rangkaian Perayaan Hari Raya Galungan yang Panjang
Hari Raya Galungan terdiri dari rangkaian ritual panjang yang sudah dimulai sejak 25 hari sebelumnya.
Sejumlah rangkaian Hari Raya Galungan itu meliputi: Tumpek Wariga, Sugihan Jawa, Sugihan Bali, Hari Penyekeban, Hari Penyajan, dan Hari Penampahan yang jatuh sehari sebelum Hari Raya Galungan.
Ritual masih berlanjut bahkan setelah Hari Raya Galungan, seperti Hari Umanis Galungan.
Hari Umanis Galungan digunakan umat Hindu melaksanakan sembahyang dan dilanjutkan dengan Dharma Santi.
Kemudian, umat Hindu saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi.
Setiap rangkaian ritual Hari Raya Galungan memiliki makna mendalam bagi umat Hindu.
3. Dirayakan Sejak 882 Masehi
Hari Raya Galungan sudah digelar atau dirayakan sejak 882 masehi atau 804 saka.
Pada Lontar Purana Bali Dwipa disebutkan bahwa upacara Hari Raya Galungan pertama adalah pada Rabu kliwon, duku dungulan bulan keempat tanggal 15 tahun 804 Saka.
4. Berhenti Dirayakan Selama 23 Tahun
Perayaan Hari Raya Galungan sempat berhenti selama 23 tahun lamanya.
Peringatan Hari Raya Galungan dihentikan pada 1103 Saka di bawah pemerintahan Raja Sri Ekajaya.
Konon, musibah datang saat perayaan Galungan ditiadakan.
Pada 1126 Saka, perayaan kembali dilaksanakan pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, seperti yang tertulis dalam lontar Sri Jayakasunu.
Perayaan Galungan kembali diadakan setelah Raja Sri Jayakasunu melakukan tapa brata dan semedi di Bali.
Dalam pertapaannya itu, Raja Sri Jayakasunu mendapat wangsit bahwa musibah yang terjadi tersebut lantaran umat Hindu tidak menggelar perayaan Galungan.
Sejak saat itu, perayaan Galungan kembali digelar hingga sekarang.
5. Galungan dan Cerita Rakyat Mayadanawa
Perayaan Galungan di Bali dipercaya memiliki kaitan erat dengan cerita rakyat tentang Mayadanawa atau Mayadenawa.
Dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Mayadanawa merupakan gabungan antara cerita sejarah dan mitologi.
Diceritakan bahwa dahulu kala hiduplah seorang raja bernama Mayadanawa.
Ia merupakan keturuanan daitya atau raksasa di wilayah utara Danau Batur yang memiliki kekuatan mengubah diri menjadi bentuk apa pun.
Sayangnya, kesaktian tersebut membuat Mayadanawa menjadi sosok raja yang angkuh.
Ia melarang rakyat Bali untuk menyembah Tuhan dan melakukan upacara keagamaan.
Sang raja bahkan merusak semua pura yang ada di wilayah kekuasaannya.
Setelah semua upacara keagamaan ditiadakan, tanaman warga menjadi rusak dan wabah penyakit merebak.
Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan semadi di Pura Besakih untuk memohon petunjuk dan bimbingan Tuhan.
Dalam semedi tersebut, Mpu Kul Putih mendapat petunjuk agar meminta pertolongan ke India.
Baca Juga: Pegatwakan, Akhir Rangkaian Hari Raya Galungan
Pertolongan dari surga turun berupa sebuah pasukan yang dipimpin Batara Indra.
Pasukan tersebut menyerang Raja Mayadanawa dan melengserkannya dari tahta.
Meski melalui pertempuran yang sangat sengit, Pasukan Batara Indra akhirnya berhasil mengalahkan Mayadanama.
Cerita rakyat ini lah yang menjadi latar belakang perayaan Galungan.
Masyarakat percaya bahwa kebaikan atau dharma akan selalu berhasil melawan kejahatan atau adharma.
6. Makna Penjor dalam Perayaan Hari Raya Galungan
Pada Hari Raya Galungan, umat Hindu memasang penjor.
Bagi umat Hindu, penjor merupakan simbol kemenangan dan kemakmuran, serta sebagai wujud rasa syukur dan persembahan kepada bhatara, sesuai dengan makna Hari Raya Galungan.
Penjor merupakan simbol gunung yang dianggap suci tempat Sang Hyang Widi dan simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.
Penjor pada umumnya terbuat dari sebatang bambu yang ujungnya dibuat melengkung.
Sebatang bambu tersebut dihiasi dengan daun kelapa (janur) dan dilengkapi dengan berbagai hasil pertanian, seperti umbi-umbian (pala bungkah), buah-buahan (pala gantung), dan biji-bijian (palawija), dan sebagainya.
Umat Hindu juga melengkapi penjor dengan sajen.
Unsur-unsur tersebut melambangkan simbol-simbol suci yang berkaitan erat dengan nilai-nilai dan etika Hindu.
Pemasangan penjor dilaksanakan pada Hari Penampahan atau sehari sebelum Hari Raya Galungan, tepatnya pada Selasa wage wuku Dungulan setelah pukul 12.00 siang.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.