Konon, musibah datang saat perayaan Galungan ditiadakan.
Pada 1126 Saka, perayaan kembali dilaksanakan pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, seperti yang tertulis dalam lontar Sri Jayakasunu.
Perayaan Galungan kembali diadakan setelah Raja Sri Jayakasunu melakukan tapa brata dan semedi di Bali.
Dalam pertapaannya itu, Raja Sri Jayakasunu mendapat wangsit bahwa musibah yang terjadi tersebut lantaran umat Hindu tidak menggelar perayaan Galungan.
Sejak saat itu, perayaan Galungan kembali digelar hingga sekarang.
5. Galungan dan Cerita Rakyat Mayadanawa
Perayaan Galungan di Bali dipercaya memiliki kaitan erat dengan cerita rakyat tentang Mayadanawa atau Mayadenawa.
Dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Mayadanawa merupakan gabungan antara cerita sejarah dan mitologi.
Diceritakan bahwa dahulu kala hiduplah seorang raja bernama Mayadanawa.
Ia merupakan keturuanan daitya atau raksasa di wilayah utara Danau Batur yang memiliki kekuatan mengubah diri menjadi bentuk apa pun.
Sayangnya, kesaktian tersebut membuat Mayadanawa menjadi sosok raja yang angkuh.
Ia melarang rakyat Bali untuk menyembah Tuhan dan melakukan upacara keagamaan.
Sang raja bahkan merusak semua pura yang ada di wilayah kekuasaannya.
Setelah semua upacara keagamaan ditiadakan, tanaman warga menjadi rusak dan wabah penyakit merebak.
Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan semadi di Pura Besakih untuk memohon petunjuk dan bimbingan Tuhan.
Dalam semedi tersebut, Mpu Kul Putih mendapat petunjuk agar meminta pertolongan ke India.
Baca Juga: Pegatwakan, Akhir Rangkaian Hari Raya Galungan
Pertolongan dari surga turun berupa sebuah pasukan yang dipimpin Batara Indra.
Pasukan tersebut menyerang Raja Mayadanawa dan melengserkannya dari tahta.
Meski melalui pertempuran yang sangat sengit, Pasukan Batara Indra akhirnya berhasil mengalahkan Mayadanama.
Cerita rakyat ini lah yang menjadi latar belakang perayaan Galungan.
Masyarakat percaya bahwa kebaikan atau dharma akan selalu berhasil melawan kejahatan atau adharma.
6. Makna Penjor dalam Perayaan Hari Raya Galungan
Pada Hari Raya Galungan, umat Hindu memasang penjor.
Bagi umat Hindu, penjor merupakan simbol kemenangan dan kemakmuran, serta sebagai wujud rasa syukur dan persembahan kepada bhatara, sesuai dengan makna Hari Raya Galungan.
Penjor merupakan simbol gunung yang dianggap suci tempat Sang Hyang Widi dan simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.
Penjor pada umumnya terbuat dari sebatang bambu yang ujungnya dibuat melengkung.
Sebatang bambu tersebut dihiasi dengan daun kelapa (janur) dan dilengkapi dengan berbagai hasil pertanian, seperti umbi-umbian (pala bungkah), buah-buahan (pala gantung), dan biji-bijian (palawija), dan sebagainya.
Umat Hindu juga melengkapi penjor dengan sajen.
Unsur-unsur tersebut melambangkan simbol-simbol suci yang berkaitan erat dengan nilai-nilai dan etika Hindu.
Pemasangan penjor dilaksanakan pada Hari Penampahan atau sehari sebelum Hari Raya Galungan, tepatnya pada Selasa wage wuku Dungulan setelah pukul 12.00 siang.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.