Kompas TV regional budaya

Jangan Sembarang Mengenakan Batik, Ini 6 Motif Larangan Keraton Yogyakarta

Kompas.tv - 4 Oktober 2021, 22:25 WIB
jangan-sembarang-mengenakan-batik-ini-6-motif-larangan-keraton-yogyakarta
Batik motif huk. (Sumber: kratonjogja.id)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Batik merupakan salah satu kain tradisional khas Indonesia. Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang memilik motif dan corak batik beragam.

Tapi, ada sejumlah motif batik yang tidak diperbolehkan atau dilarang untuk dikenakan oleh sembarang orang, kecuali kalangan tertentu di Keraton Yogyakarta.

Batik larangan Keraton Yogyakarta tersebut disebut juga dengan Awisan Dalem. Motif-motif itu penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta.

Dilansir laman resmi Keraton Yogyakarta, motif pada kain batik disebut memiliki kekuatan spiritual maupun makna filsafat. Hal itu menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi adanya batik larangan di Yogyakarta.

Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang di kandungnya.

Beberapa motif batik larangan di Keraton Yogyakarta di antaranya Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.

Baca Juga: Keraton Yogyakarta Lakukan Renovasi Besar-besaran, GKR Bendara: Ada Dawuh Ngarsa Dalem

Motif batik larangan tersebut ditetapkan oleh masing-masing Sultan yang sedang bertahta. Parang Rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta, yang ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785.

Sementara, para pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada motif huk dan kawung.

Berikut sejumlah motif batik larangan di Keraton Yogyakarta:

1. Motif Huk

Motif huk hanya boleh dikenakan oleh raja dan putera mahkota. Motif ini bergambar kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap), dan garuda.

Motif kerang bermakna kelapangan hati, binatang menggambarkan watak sentosa, tumbuhan melambangkan kemakmuran, sedangkan sawat ketabahan hati.

Motif ini menyimbolkan pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya.

2. Motif Kawung

Motif kawung boleh dikenakan oleh para Sentana Dalem. Motif ini memiliki pola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat.

Dalam budaya Jawa bagan seperti itu disebut dengan keblat papat lima pancer, yakni empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.

Pendapat lain mengatakan kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang sedang mekar.

3. Motif Parang

Motif parang dan variasinya menjadi batik larangan yang sangat ditekankan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939).

Penggunaan motif itu secara khusus tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927, tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta.

“Rouffaer dan Joynboll mengatakan motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang. Ksatria yang mengenakan motif ini diyakini bisa berlipat kekuatannya,” demikian tertulis dalam keterangan motif parang di laman resmi Keraton Yogyakarta.

Baca Juga: Ini Titah Raja Keraton Yogyakarta ke Warga Pakem

Sementara, versi lain menyebut bahwa motif parang diciptakan oleh Panembahan Senapati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai.

Parang Rusak Barong dengan ukuran lebih dari 10 cm hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.

Parang Barong ukuran 10 – 12 cm dipakai oleh putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih.

Parang Gendreh ukuran 8 cm dipakai oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, para pangeran dan istri utamanya.

Parang Klithik ukuran 4 cm ke bawah dipakai oleh putra ampeyan Dalem, dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah, dan wareng.

4. Motif Semen

Motif batik lain yang termasuk larangan adalah semen. Semen mempunyai konotasi “semi” atau “tumbuh”.

Pada motif semen terdapat beberapa gambar, yakni gunung atau meru, garuda, sayap, candi, dan naga. Motif ini bermakna kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta.

Dalam Pranatan Dalem, diatur tentang tata cara pemakaian batik motif semen, yakni sebagai berikut:

Kampuh motif Semen Gedhe Sawat Gurdha dipakai untuk cucu sultan, istri para pangeran, penghulu, Wedana Ageng Prajurit, Bupati Nayaka Lebet, Bupati Nayaka Njawi, Bupati Patih Kadipaten, Bupati Polisi, Pengulu Landraad, Wedana Keparak Para Gusti ( Nyai Riya), Bupati Anom, serta Riya Bupati Anom.

Kampuh Semen Gedhe Sawat Lar dipakai untuk buyut dan canggah sultan.

Sementara, motif semen tanpa lukisan meru, garuda (sawat), dan sayap (lar), boleh dipakai oleh siapa saja.

5. Motif Cemukiran

Motif cemukiran hanya boleh dikenakan oleh raja dan putera mahkota. Motif ini bergambar lidah api atau sinar.

Api adalah unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, dan ambisi. Dalam konsep Jawa, api maupun sinar diibaratkan sebagai mawateja atau bersinar seperti wahyu, yaitu salah satu kriteria yang harus dimiliki seorang raja.

6. Motif Udan Liris

Motif udan liris boleh dikenakan oleh oleh putra dari garwa ampeyan, wayah, buyut, canggah, Pangeran Sentana dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.

Motif ini diartikan sebagai hujan gerimis pembawa kesuburan bagi tumbuhan dan ternak.

Dalam motif ini terdapat bermacam gambar berbentuk garis-garis sejajar. Terdiri dari motif lidah api, setengah kawung, banji sawut, mlinjon, tritis, ada-ada, dan untu walang.

Motif ini bermakna sebagai pengharapan agar pemakainya selamat sejahtera, tabah, dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan bangsa.

“Aturan-aturan penggunaan batik larangan ini masih berlaku hingga sekarang, namun hanya diterapkan secara terbatas di lingkungan Keraton Yogyakarta, tidak untuk masyarakat umum di luar keraton.”

 




Sumber : kratonjogja.id




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x