Menurut dia, ketika sudah 'merdeka' dan kembali ke pangkuan NKRI maka menjadi momentum juga baginya untuk berkarya.
Kebetulan juga Joko mendirikan yayasan yang beranggotakan sekitar 40 orang yang mayoritas adalah eks napi-napi teroris.
Yayasan Gema Salam namanya, berkedudukan di Sukoharjo, dimana menjadi tempat tinggal Joko dan keluarganya saat ini.
"Dengan kemerdekaan saat ini kami bisa berkarya untuk Indonesia. Pengalaman masa lalu biarlah sebagai 'batu-batu' untuk kami bisa jadikan pijakan agar berdiri kokoh menyeberangi kehidupan ini untuk menggapai masa depan yang lebih sukses," papar Joko.
Salah satu karyanya, melalui Yayasan Gema Salam tengah membangun tempat pelatihan berbagai jenis usaha bagi para anggota.
"Kami ini baru membangun tempat pelatihan untuk segala jenis usaha. Selain itu kerap mengadakan acara pembenahan mindset teman-teman terhadap Indonesia," jelasnya.
Meski begitu, diakui Joko, hal-hal berkarya tadi bisa dianggap tidak semudah membalikkan telapak tangan karena memang butuh perjuangan yang tak ringan. Apalagi ketika menghadapi teman-teman di yayasan yang patah semangat.
"Butuh perjuangan pastinya. Apalagi menghadapi teman-teman yang kecewa karena menganggap negara kurang memperhatikan atau memperhatikan tapi kurang tepat. Ya kalau saya yang penting itu ada komunikasi yang harmonis dahulu, setelah itu baru kita mikir program-program," pintanya.
Baca Juga: Korban Gempa Upacara Bendera di Pengungsian
Sedikit menoleh kebelakang. Joko pun sempat bercerita soal gerakan terorisnya dahulu yang membuatnya dihukum empat tahun penjara.
Ia mengaku sebagai bagian dari para pelaku kasus Bom Bali 1. Bahkan memiliki keahlian merakit bom, ia mengklaim sebagai tangan kanan gembong teroris almarhum Nordin M Toop.
"Sejak SMA saya sudah ikut pengajian-pengajian yang mengarah ke gerakan radikal. Lalu makin mengenal lebih jauh saat kuliah di Solo sekitar tahun 1997. Saat ada kerusuhan Ambon 1999 saya ke sana lalu berlanjut ke Poso. Nah, di dua tempat itu saya mulai mengenal gerakan teroris karena banyak bergaul dengan orang Indonesia yang baru pulang dari Afganistan. Mulai saya belajar merakit bom," cerita Joko.
Selepas konflik Ambon dan Poso, Joko pun kembali ke Pulau Jawa. Ia tak sendirian karena datang pula rombongan tokoh-tokoh Bom Bali seperti Imam Samudra dan Amrozi.
"Nah di Jawa kami bingung ilmu yang sudah dimiliki saat di Poso mau dikemanakan. Akhirnya muncul ide membuat bom dan mempraktekkan di Bali," imbuh dia.
Bom Bali 1 pun terjadi dan Joko melarikan diri dari kejaran polisi. Sekitar dua tahun dia bersembunyi di Yogyakarta sampai Purwokerto dan akhirnya tertangkap usai Bom Kuningan.
Baca Juga: Semua Mantan Presiden Hadiri Upacara Bendera di Istana
"Saya divonis enam tahun tapi baru menjalani empat tahun akhirnya dibebaskan karena mendapatkan remisi besar-besaran," ungkap dia.
Tak ingin terjatuh lagi, Joko mulai sadar apa yang dijalaninya selama ini adalah salah. Bersama istrinya yang warga Solo, dia pun mulai memperbaiki dan menata hidup baru lagi.
"Akhirnya saya beralih ke profesi lain yakni membuka warung soto dan bengkel pembuatan blangkon,” imbuh Joko yang saat ini tinggal bersama sang istri di Manang, Sukoharjo.
Dalam setiap ceramahnya, Joko pun mewanti-wanti kepada para orang tua untuk benar-benar memperhatikan pergaulan dari putra-putrinya.
Sebab, saat ini perkembangan media sosial sangatlah masif dimana para anak-anak muda bisa mendapatkan dengan mudah informasi termasuk informasi gerakan radikal.
"Dulu gerakan radikal biasanya muncul lewat pengajian pengajian lalu mulai dikenal sejak SMA. Tapi saat ini eranya berubah. Pengaruh gerakan radikal sudah bisa dialami oleh anak SMP, ya lewat medsos tadi," tutup Jack Harun.
Baca Juga: Upacara Bendera Digelar di Tengah Laut
Sumber : Kompas TV/YouTube Yayasan Gema Salam
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.