JAKARTA, KOMPAS.TV — Partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 yang digelar serentak pada Rabu (27/11/2024) mencatat angka rendah di sejumlah daerah.
Hasil pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan tingkat partisipasi di beberapa daerah bahkan berada di bawah 50 persen.
Di Tambora, Jakarta Barat, dan Bandung, Jawa Barat, misalnya, pemilih yang menggunakan hak pilihnya tercatat kurang dari separuh dari daftar pemilih tetap (DPT).
”Angka ini menunjukkan perlunya upaya lebih keras dari penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat,” kata Wakil Manager Pendidikan Pemilih JPPR Guslan Batalipu di Jakarta, Kamis (28/11/2024), dikutip dari Kompas.id.
Guslan kemudian menyoroti sejumlah penyebab rendahnya angka partisipasi publik dalam Pilkada 2024. Salah satu faktor utama adalah durasi kampanye kandidat yang dinilai terlalu singkat.
Waktu yang terbatas membuat calon kepala daerah sulit menjangkau masyarakat secara luas dan memperkenalkan program mereka.
Fenomena pencalonan kepala daerah dari luar wilayah, menurut Guslan, juga menimbulkan kesan bahwa kandidat kurang memahami kebutuhan masyarakat lokal, sehingga membuat pemilih semakin apatis.
”Kondisi ini membuat pemilih sulit merasa terhubung dengan calon karena mereka tidak mengenal atau merasa calon tersebut kurang memahami kebutuhan masyarakat lokal,” ujar Guslan.
Wilayah urban seperti Jakarta juga dinilai lebih rentan terhadap rendahnya partisipasi pemilih. Tingginya mobilitas masyarakat perkotaan menjadi salah satu faktor utama.
Pelaksanaan Pilkada yang berdekatan dengan Pemilu 2024 juga menjadi salah satu penyebab partisipasi rendah.
Padatnya agenda sosialisasi membuat informasi mengenai Pilkada kurang tersampaikan secara optimal kepada masyarakat.
Baca Juga: Peneliti Senior Litbang Kompas Beberkan Pola Pemilih Pilkada Jakarta 2024 | SATU MEJA
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menilai padatnya jadwal penyelenggara pemilu berdampak pada minimnya waktu untuk persiapan Pilkada.
”Dengan jadwal kegiatan KPU hingga KPU daerah yang sangat padat pada kegiatan Pemilu 2024, tampaknya persiapan pilkada kurang optimal, terutama terkait dengan sosialisasi pemilih,” kata Arfianto di Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Di sisi lain, banyaknya calon tunggal melawan kotak kosong juga menjadi perhatian. Adapun Pilkada 2024 diselenggarakan serentak di 545 daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Sebanyak 37 daerah di antaranya memiliki satu pasangan calon atau calon tunggal sehingga kolom surat suara memuat kandidat kepala daerah dan kolom kosong.
Menurut Arfianto, situasi ini menunjukkan kurangnya persaingan politik yang menarik, sehingga pemilih kehilangan motivasi untuk datang ke TPS.
”Perpanjangan waktu yang diberikan oleh KPU untuk pendaftaran kandidat baru tidak banyak mengubah persaingan. Oleh karena itu, revisi aturan pilkada diperlukan untuk memastikan bahwa demokrasi lokal berjalan dengan baik, bukan hanya menjadi ritual belaka,” ujar Arfianto.
Terlepas dari rendahnya partisipasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut pelaksanaan Pilkada 2024 secara keseluruhan relatif positif.
Dugaan penyalahgunaan sumber daya negara menurun dibandingkan Pemilu 2024, meski praktik politik uang masih ditemukan menjelang hari pemungutan suara.
Namun, evaluasi tetap diperlukan agar kualitas demokrasi lokal dapat meningkat.
Penyelenggara pemilu, pemerintah, dan partai politik perlu berkolaborasi lebih baik dalam menyosialisasikan pentingnya partisipasi masyarakat.
Baca Juga: Unik! TPS 41 di Kota Wamena Sajikan Menu Bakar Batu untuk Pemilih di Pilkada 2024
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.