JAKARTA, KOMPAS.TV – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Topo Santoso mengungkapkan, terdapat sejumlah kekhilafan hakim dalam putusan perkara terdakwa Mardani H. Maming.
“Kesimpulan yang dapat ditarik, pada intinya putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata,” ungkap Topo melalui keterangan tertulisnya Senin (14/10/2024).
Baca Juga: Pakar Hukum Sebut Tidak Ditemukan Audit Kerugian Negara di Kasus Mardani Maming
Pendapatnya itu sebagaimana telah diungkapkan olehnya pada saat membedah buku bertajuk “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming” yang digelar di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Topo menjelaskan, buku tersebut menyoroti proses persidangan yang dianggap penuh kekhilafan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi Mardani H. Maming.
Menurut Topo, dia juga merumuskan tiga isu hukum (legal issues) utama yang menjadi dasar kekhilafan tersebut.
Yakni pertama unsur "Menerima Hadiah" tidak tepat. Karena fakta-fakta yang dengan proses bisnis dan keperdataan seperti fee, dividen, dan hutang piutang ditarik seolah-olah sebagai keterpenuhan unsur ‘menerima hadiah”.
Padahal, kata Topo, hal ini lebih merupakan konstruksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diterima oleh hakim.
Guru Besar Hukum Pidana ini melanjutkan, isu kedua ialah penggunaan unsur "Sepatutnya Diduga" juga tidak tepat.
Sebab, unsur "sepatutnya diduga" digunakan untuk menunjukkan culpa (kealpaan) terdakwa.
Namun, menurut Topo, unsur ini tidak tepat diterapkan dalam konteks tindak pidana korupsi, yang seharusnya lebih menekankan pada opzet (kesengajaan).
"Tindakan terdakwa yang melahirkan Keputusan Bupati dinilai telah sesuai dengan Hukum Administrasi Negara, dan tidak seharusnya dipersoalkan dalam ranah Hukum Pidana," ujar Topo.
“Fakta-fakta bisnis seperti transfer antar perusahaan atau utang-piutang merupakan ranah keperdataan yang harus dipisahkan dari tindak pidana,” imbuhnya.
Baca Juga: Pakar Hukum Sebut KY Harus Pantau Proses PK yang Diajukan Mardani Maming
Selain itu, lanjut Topo, telah ada Keputusan Pengadilan Niaga yang inkrah dan menyatakan bahwa itu adalah murni bisnis antar perusahaan.
Dengan demikian, jika ada kontrak dan putusan pengadilan, maka tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan diam-diam.
Adapun yang ketiga, kata Topo, yaitu kesalahan dalam penerapan pasal 12 Huruf b UU PTPK (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Menurutnya, Majelis Hakim pada tingkat pertama yang keputusannya diperkuat oleh pengadilan banding dan kasasi keliru dalam menyatakan terpenuhinya semua unsur pada Pasal 12 huruf b UU PTPK.
“Tidak terlihat adanya mens rea (niat jahat) dalam tindakan terdakwa. Prosedur hukum telah dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan tidak ada hubungan kausal antara keputusan terdakwa dengan penerimaan dividen, fee, atau saham yang dianggap sebagai hadiah,” tegas Topo.
Berdasarkan hasil kajian hukum tersebut, Topo menyatakan, Mardani H. Maming seharusnya dinyatakan bebas.
Baca Juga: KY Surati MA untuk Pantau Hakim yang Tangani PK Mardani Maming
Ia juga berpendapat, Mahkamah Agung semestinya memulihkan harkat dan martabat terdakwa sesuai dengan keadaan sebelumnya.
"Dengan mempertimbangkan dokumen yang telah saya pelajari, baik putusan pengadilan tingkat pertama, banding, maupun kasasi, saya menyimpulkan bahwa terdapat kekhilafan yang nyata dalam penanganan kasus ini," pungkas Topo, memberi catatan.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, kasus yang menjerat Mardani Maming merupakan tindakan korupsi karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 12 huruf b Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maming pun divonis 10 tahun penjara.
Ia didakwa menerima gratifikasi dari Henry dengan total tidak kurang dari Rp118 miliar saat menjabat Bupati Tanah Bumbu. Gratifikasi tersebut terkait SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 tentang persetujuan pengalihan IUP OP dari PT BKPL kepada PT PCN.
Mantan Bendahara PBNU ini pun mengajukan banding. Namun Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, malam menambah hukumannya dengan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan. Mardani juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.