JAKARTA, KOMPAS.TV - Soal siapa pengganti Presiden Soeharto setelah tidak menjabat lagi, rupanya sudah menjadi perbincangan di saat Pak Harto masih hidup. Setidaknya pada 1996, isu putra mahkota atau pengganti Pak Harto secara terbuka diutarakan.
Hal itu terdapat dalam sebuah buku yang diluncurkan pada tahun itu dan diberi judul, Manajemen Presiden Soeharto (Penuturan 17 Menteri), yang diterbitkan oleh Yayasan Bina Generasi Bangsa dengan Ketua Panitia Setya Novanto yang kemudian dipublikasikan di laman soehartolibrary.id.
Dalam buku yang merupakan pandangan sejumlah menteri di era Orde Baru tentang kepemimpinan Soeharto itu, terdapat sejumlah alasan mengapa Pak Harto tidak mempersiapkan putra mahkota untuk melanjutkan kepemimpinannya.
Baca Juga: Ketika Bayi-Bayi Telantar Membuat Pak Harto Prihatin, Menko Kesra: Beranak Jangan Dianggap Enteng
Menteri Dalam Negeri Rudini mengatakan, "Beliau sering didesak oleh berbagai golongan untuk menentukan putra mahkota."
"Beliau tetap tidak mau karena bagi Pak Harto, cara itu merupakan suatu hal yang tidak demokratis, seperti kerajaan," ujar Rudini yang kini sudah meninggal dunia.
Sementara Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman menyebutkan, Pak Harto tidak pernah berpikir soal putra mahkota, karena regenerasi akan datang secara alami.
"Regenerasi akan datang dengan sendirinya secara alami, tidak perlu kita paksakan. Yang patut kita syukuri adalah bahwa sekarang ini beliau tidak berpikir untuk memiliki putra mahkota. Berarti beliau commited terhadap mekanisme regenerasi sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Beliau bersama-sama kita, bangsa Indonesia, merekayasa, mempersiapkan calon-calon pengganti beliau melalui sistem kaderisasi yang ada di Tanah Air. Kelak akan kita lihat siapa calon-calon itu," kata Hayono yang kini berlabuh di Partai Nasdem.
Baca Juga: Juni 1968, Soeharto Umumkan Kabinet Pembangunan I: Ada Ayah Prabowo, Sultan HB IX hingga Ketua PBNU
Sementara Akbar Tanjung yang duduk sebagai Menteri Perumahan Rakyat mengatakan bahwa Pak Harto menjunjung tinggi konstitusi dalam memerintah.
"Kekuatan beliau (Pak Harto) dalam kepemimpinannya dikarenakan beliau sangat menjunjung tinggi konstitusi dan aturan-aturan yang disepakati di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Misalnya soal masa jabatan lima tahun. Dalam berbagai kesempatan, beliau mengemukakan bahwa masa jabatan itu lima tahun. Tetapi bisa dipilih kembali. Di situ memperlihatkan beliau mempunyai konsistensi yang tinggi terhadap konstitusi. Saya kira itu kekuatan beliau. Apa yang dilakukannya bisa dipertanggungjawabkan secara konstitusional," kata Akbar yang pernah duduk menjadi Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar itu. Akbar kini sering disebut sebagai mentor para aktivis selain politikus senior.
Pak Harto mundur sebagai presiden pada 21 Mei 1998 setelah terjadinya krisis moneter hingga krisis politik. Dia digantikan oleh wakilnya, Baharuddun Jusuf Habibie. Pak Harto meninggal dunia pada 27 Januari 2008 dalam usia 86 tahun.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.