YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menggarisbawahi tantangan mendalam yang dihadapi pendidikan nasional Indonesia ke depan.
Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa pendidikan nasional tidak boleh mengabaikan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya luhur bangsa.
Haedar juga mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan terkait posisi Indonesia dalam Human Development Index (HDI) yang masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Tingkat daya saing bangsa juga masih berada di bawah rata-rata. Bahkan dalam hal kecerdasan, Indonesia masih terkendala dalam mencapai posisi yang diharapkan.
"Artinya, pendidikan nasional Indonesia masih belum setara dengan negara-negara lain," ujar Haedar dalam Hari Pendidikan Nasional pada Kamis (2/5).
Ia menekankan bahwa tugas para perumus kebijakan pendidikan nasional adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan hingga mencapai tingkat unggul dan berkelanjutan.
Menurutnya, proses ini membutuhkan komitmen yang kuat, karena pendidikan merupakan proses jangka panjang dan strategis yang memerlukan konsistensi.
Baca Juga: Kenapa 2 Mei Jadi Hari Pendidikan Nasional? Begini Sejarahnya
Haedar menegaskan, pergantian menteri pendidikan adalah hal yang biasa, namun pentingnya kesinambungan dalam kebijakan pendidikan nasional tidak boleh terganggu.
Pada kesempatan yang sama, Haedar Nashir menyoroti peran penting sektor swasta dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, terutama yang berbasis pada gerakan sosial-keagamaan.
Ia menekankan bahwa lembaga-lembaga seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Taman Siswa memiliki sejarah panjang dalam memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendidikan nasional serta perjuangan kemerdekaan.
“Maka menjadi naif bila ada pikiran-pikiran dalam perumusan kebijakan pendidikan nasional memarjinalkan peran swasta kemasyarakatan-keagamaan, justru kebijakannya harus integratif dan proporsional,” tegas Haedar.
Menurutnya, dalam persaingan antara pendidikan negeri dan swasta, terutama yang berbasis keagamaan dan masyarakat yang non-profit, haruslah dilihat sebagai potensi untuk membangun pendidikan Indonesia secara bersama-sama.
Haedar menekankan bahwa mempertentangkan kedua sektor tersebut hanya akan menghambat upaya pembangunan pendidikan secara holistik.
Pernyataan Haedar Nashir ini menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Hanya dengan bekerja secara bersama-sama, Indonesia dapat membangun sistem pendidikan yang inklusif dan merata, serta mendorong kemajuan pendidikan untuk generasi mendatang.
Tak hanya menyoroti aspek kebijakan dan struktur pendidikan, Haedar juga mengingatkan pentingnya membangun generasi Indonesia yang memiliki jiwa dan karakter yang kuat. Ia menekankan bahwa pendidikan nasional tidak boleh hanya menjadi pabrik yang menghasilkan "robot-robot" pekerja yang tidak memiliki jiwa dan akal budi.
"Membangun Indonesia melalui pendidikan haruslah meliputi jiwa dan raga," tegas Haedar melalui rilis resmi yang diterima oleh Kompas.tv, Kamis (2/5).
Ia menyatakan bahwa menjadi sebuah distorsi jika pendidikan hanya menghasilkan individu yang mekanis dan kurang memiliki kedalaman jiwa.
Lebih lanjut, Haedar menegaskan bahwa pendidikan Indonesia harus menghasilkan insan-insan yang kuat dalam relijiusitasnya, berakar pada iman dan takwa, dengan akhlak yang mulia, berilmu, mahir dalam penguasaan teknologi, dan memiliki keahlian dalam berbagai bidang.
Mereka juga diharapkan menjadi individu yang berjiwa sosial, mampu hidup secara bergotong royong dan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat.
Pesan Haedar ini menggarisbawahi pentingnya membangun pendidikan yang holistik, yang tidak hanya mengutamakan aspek akademis dan teknis, tetapi juga menekankan pengembangan jiwa dan karakter yang kokoh bagi generasi penerus bangsa.
Baca Juga: Libur Panjang Sekolah 2024 Bulan Juni? Ini Jadwal lengkap Sesuai Kalender Pendidikan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.